Dia bukan siapa-siapa. Dia tak aku kenal juga
Hanya, dalam tiga tahun terakhir ini, setiap hari aku melihatnya. Setiap aku berangkat kerja, lelaki itu telah duduk di depan toko. Telah berpakaian rapi, siap melayani pembeli yang berkunjung ke tokonya.
Dia bukan siapa-siapa. Namanya pun aku tak tau. Tapi wajahnya menjadi begitu akrab bagiku. Seakan wajib bagiku menengok ke kiri tiap lewat di depan tokonya. Setelah melihat lelaki hitam itu duduk di tempat biasa, barulah aku mempercepat laju motorku.
Lelaki hitam itu, sepertinya dari timur sana. Pernah dia tidak duduk di depan tokonya. Beberapa hari aku kehilangan wajah khasnya. Awalnya aku cuek saja. Besoknya masih juga cuek. Pada hari ketiga, aku mulai merasa ada sesuatu yang hilang. Ada pemandangan pagi-ku yang hilang. Kemana lelaki hitam itu? Ada apa gerangan dengan dirinya? Sakitkah? Atau telah pulang ke timur? Ah kenapa pula aku jadi gusar begini. Toch dia bukan siapa-siapa. Kenalpun tidak, batinku menjawab nada-nada gusar hatiku.
Lelaki hitam itu yang mungkin dari timur.
Kemarin pagi sudah mulai duduk lagi di tempat biasa. Alhamdulillah dia baik-baik saja, bisikku ketika itu.
Lelaki hitam itu memang bukan siapa-siapa. Kenalpun, tidak. Nama, asal, tidak ada yang aku tau. Namun jika dia tidak duduk di tempat biasa, aku merasa ada yang hilang. Aku menjadi gusar. Karena lelaki hitam itu pernah membuat aku merenung. tentang hidup yang harus di perjuangkan. Betapa dia rela meninggalkan tanahnya di timur, demi hidup! Mungkin demi ibunya, mungkin demi saudara-saudaranya. Jika lelaki hitam itu tidak duduk di tempat biasa, bagaimana dia bisa hidup? Bagaimana dengan keluarganya?
Hanya, dalam tiga tahun terakhir ini, setiap hari aku melihatnya. Setiap aku berangkat kerja, lelaki itu telah duduk di depan toko. Telah berpakaian rapi, siap melayani pembeli yang berkunjung ke tokonya.
Dia bukan siapa-siapa. Namanya pun aku tak tau. Tapi wajahnya menjadi begitu akrab bagiku. Seakan wajib bagiku menengok ke kiri tiap lewat di depan tokonya. Setelah melihat lelaki hitam itu duduk di tempat biasa, barulah aku mempercepat laju motorku.
Lelaki hitam itu, sepertinya dari timur sana. Pernah dia tidak duduk di depan tokonya. Beberapa hari aku kehilangan wajah khasnya. Awalnya aku cuek saja. Besoknya masih juga cuek. Pada hari ketiga, aku mulai merasa ada sesuatu yang hilang. Ada pemandangan pagi-ku yang hilang. Kemana lelaki hitam itu? Ada apa gerangan dengan dirinya? Sakitkah? Atau telah pulang ke timur? Ah kenapa pula aku jadi gusar begini. Toch dia bukan siapa-siapa. Kenalpun tidak, batinku menjawab nada-nada gusar hatiku.
Lelaki hitam itu yang mungkin dari timur.
Kemarin pagi sudah mulai duduk lagi di tempat biasa. Alhamdulillah dia baik-baik saja, bisikku ketika itu.
Lelaki hitam itu memang bukan siapa-siapa. Kenalpun, tidak. Nama, asal, tidak ada yang aku tau. Namun jika dia tidak duduk di tempat biasa, aku merasa ada yang hilang. Aku menjadi gusar. Karena lelaki hitam itu pernah membuat aku merenung. tentang hidup yang harus di perjuangkan. Betapa dia rela meninggalkan tanahnya di timur, demi hidup! Mungkin demi ibunya, mungkin demi saudara-saudaranya. Jika lelaki hitam itu tidak duduk di tempat biasa, bagaimana dia bisa hidup? Bagaimana dengan keluarganya?
No comments:
Post a Comment