“Bukankah lebih baik di sini?” Kucoba memecah sunyi yang melingkupi kami.
“Disini kamu mendapatkan semuanya, teman, sahabat, keluarga, pekerjaan. Untuk apa lagi kamu ke sana?”
”Aku telah memilih, Sa!”
”Tapi kamu masih bisa merubah pilihanmu. Tidak ada yang memaksa kamu mengambil pilihan itu kan?”
Dalam remang, samar kulihat dia menggelengkan kepala. Aku menghela nafas panjang, menengadah ke langit. Mencari bulan pucat yang tadi menghiasi langit. Mungkin ada untaian kalimat di sisinya yang bisa kubaca, kemudian kukatakan pada Ve hingga dia mau membatalkan rencananya.
Semakin sunyi. Ve telah beranjak masuk, merebahkan diri. Katanya hendak mencoba tidur agar besok bisa bangun pagi-pagi.
Ve, belum pergi pun aku sudah merasa sangat sunyi. Bagaimana jika besok engkau benar-benar berlalu?
Tanpa sadar aku menitikkan air mata. Empat tahun terakhir Ve adalah sahabatku. Layaknya sudah seperti saudara. Bahkan kadang aku berpikir bahwa Ve lebih dari saudara. Ve adalah separuh dari diriku.
Kamar itu kosong. Entah jam berapa Ve pergi. Dia tidak pamit lagi padaku. Kurasakan dadaku hampa. Tangis yang semalam sudah merembesi mataku kini mulai lagi. Kuhirup nafas sekuatnya, kemudian ku hembuskan bersama teriakan yang cukup untuk membangunkan penghuni kost-kostan itu.
“Veeeeeeeeee....................” jeritku. Kemudian aku terjatuh di ambang kamarnya. Pandanganku kabur. Ya, aku menangis karena ditinggal seorang sahabat. Aku menangis ditinggal diriku yang lain.
.............mungkin pilihan untuk pindah/pergi kurang bijak, tapi di tempat baru bisa saja kamu mendapatkan hal baru yang bisa menghapus semua kisah sedihmu di tempat sebelumnya, aku pengen banget melangkah, aku pengen banget ke selatana. dan sebelum aku kesana, kubiarkan Sang Ve, memulainya..............
aku (masih).................