Kalau saja Danang tak menunjukkan formulir
paket wisata waktu itu, kalau saja aku tak tergiur untuk ikut, kalau saja ayah
tak mengijinkan, kalau saja...
“Aga....!” Panggilan itu menghentikan suara
hati Agatha. Agatha mendongak, dan seorang laki-laki ,berdiri berkacak pinggang
di depannya. “Ayo bangkit! Istirahatnya cukup.”
Laki–laki itu memutar badan dan melangkah.
Keresek daun kering yang diinjaknya menimbulkan irama. Agatha menelan ludah
sambil berusaha berdiri. Ransel di pundaknya terasa sangat berat, walaupun
isinya hanya beberapa bungkus supermi ditambah sebuah panci.
“Mau ikut atau mendekam di situ?” Agatha
terlonjak kaget. Disangkanya pemilik suara itu sudah jauh di depan. Agatha
menatapnya sekilas lalu berjalan tertatih diantara pohon-pohon besar yang
tumbuh rapat.
Jarum jam di pergelangan tangah Agatha baru
menunjukkan angka 14.00. Namun suasana mulai gelap. Pohon-pohon besar dan
berdiri rapat serta berdaun lebat menghalangi sinar matahari.
“Aduh... kalau jalannya seperti siput begitu,
kapan sampainya?” Laki-laki itu berhenti menunggu Agatha yang jauh tertinggal.
Agatha menggigit bibir. “Sini aku bantu.” Dengan kasar laki-laki itu menarik
tangan Agatha hingga langkahnya yang tertatih tadi menjadi lebih cepat.
“Kita harus sampai sebelum benar-benar gelap,
“ suara laki-laki itu. Sampai? Sampai kemana? Sebenarnya tujuan kita kemana?
Agatha menggelengkan kepala, tak mampu menjawab tanya hatinya, karena ia memang
tak tahu kemana laki-laki tak berperasaan itu akan membawanya.
“Setelah melintasi hutan ini, kita akan belok
ke utara sekitar satu kilometer untuk mencapai bukit. Nanti kita istirahat di
kaki bukit. Kamu harus kuat berjalan sampai di sana. Jaraknya tidak seberapa
lagi. Dari tempat kita sekarang hingga ke bukit itu cuma tujuh atau delapan
kilometer.” Jelas laki-laki itu.
Persendian Agatha menjadi lemas. Tujuh atau
delapan kilo? Demi Tuhan aku tak kuat lagi berjalan sejauh itu, gema hatinya,
sembari menggelengkan kepala. Ingin sekali rasanya dia menangis. Namun air
matanya seperti kering.
Agatha melangkah pasrah. Bukan, dia tidak
melangkah, tapi Agatha pasrah membiarkan dirinya terseret oleh tangan kuat
lelaki itu.
Tolonglah aku tak kuat lagi....! Agatha
menggigit bibir mendengar suara hatinya yang merengek. Namun keberaniannya untuk
memprotes laki-laki itu seperti surut, terkalahkan oleh rasa lelah yang luar
biasa.
“Buk...” Agatha jatuh terduduk ketika
laki-laki itu melepaskan pegangannya untuk menyibak ranting kering yang
menghalangi jalan. Sekilas laki-laki itu menoleh ke arah Agatha.
“Ayo bangkit....!” bentaknya. Agatha
menggeleng lemah. Beberapa keringat dingin membasahi wajah dan lehernya.
“Jalan, Agatha....!” Sekali lagi Agatha menggeleng lemah, mewakili mulutnya
yang berkata tidak.
“Atau kita akan kemalaman disini? Ayo jalan!
Jangan paksa aku berbuat kasar padamu!” Dengan paksa lelaki itu menyentakkan
tubuh Agatha. Dan Agatha bukannya berdiri, tapi malah jatuh tertelungkup.
Hatinya mengadu sakit.
“Jadi kami benar-benar tidak kuat lagi?”
Laki-laki itu melepaskan ransel dari punggung Agatha. Lalu sebuah sleeping bag
digelarnya di atas daun-daun kering. “Kamu istriahat saja dulu, aku mau cari
air di sekitar sini untuk keperluan memasak.” Ekor mata Agatha masih sempat
melihat telapak sepatu yang melintas tepat di depan hidungnya.
Laki-laki tak berperasaan. Kenapa aku harus
bertemu dengannya? Kenapa aku harus bersamanya dalam perjalanan yang tak
menyenangkan ini? Hati Agatha mulai mengumpat. Seandainya saat ini aku bersama
Danang, atau Rijal, yang tidak suka memaksaku atau Mas Dar, pemandu wisataku
yang ramah. Ah apakah yang mereka lakukan sekarang? Mencariku? Apakah mereka
sudah tahu tentang kepergiannku?
“Heh kamu masih di situ? Sleeping bag itu
bukan untuk daun-daun. Tapi buat kamu melepaskan lelah.” Lelaki itu telah
kembali lagi dengan panci yang berisi air. Agatha tetap terdiam. Tanpa bergeser
sedikitpun, dia mengamati lelaki yang sibuk membersihkan daun-daun kering,
mengumpulkan ranting kecil, kemudian memanaskan air yang dibawanya tadi.
Perut Agatha berbunyi ketika aroma supermi
lewat menerpa hidungnya.
Diliriknya
semangkuk supermi yang masih mengepul di sisi sleeping bag. Sedangkan satunya
lagi ada di tangan lelaki itu. Dengan bersandar pada sebuah pohon, dia mulai
melahap tanpa mengajak Agatha. Agatha menelan air liurnya.
Agatha bangun, dan mulai menyendok supermi itu
ke mulutnya. Tiba-tiba dia merasa sangat lapar. Dalam sepuluh suapan,
mangkoknya telah kosong.
“Tenagamu sudah pulih kan? Kita lanjutkan
perjalanan sekarang.” Lelaki itu mengemasi ranselnya. Agatha yang bersandar
pada sebuah pohon menatap laki-laki itu lurus-lurus. “Heh, jangan melihatku
seperti itu!” Dia membentak Agatha sambil melempar ransel. “Tangkap, dan kita
jalan lagi!”
Agatha membiarkan ransel itu jatuh di ujung
kakinya. “Ayo ambil! Kita harus jalan, sebentar lagi tempat ini gelap.”
“Sekarang sudah gelap.” “Heh, kamu sudah bosan membisu rupanya dan mulai keras
kepala. Sudah punya tenaga untuk melawan?”
“Tidak.
Aku tidak akan melawan kamu. Dibunuhpun aku pasrah.” Jawab Agatha.
Laki-laki itu terkekeh. “Karena kamu tahu
perlawanannmu akan sia-sia. Bagus, aku suka jalan pikiran kamu yang ternyata
masih normal. Padahal sejak dua hari yang lalu, kukira kamu sudah hilang
ingatan, karena selama itu kamu tidak pernah buka mulut. Tidak mengiyakan tidak
juga menolak, kamu seperti robot ikut denganku.”
Agatha geram mendengar laki-laki itu. Hatinya
sangat kesal, namun dia hanya mampu memejamkan mata.
“Agatha, bangunlah! Hari semakin gelap nanti.”
“Sekarang sudah gelap dan aku sudah sangat capek. Ingat dua hari dua malam kamu
menyeretku ke hutan ini tanpa istirahat yang cukup. Aku buka robot seperti
katamu. Aku punya rasa, merasakan capek, tidak seperti kamu yang....”
“Hei..., kamu sudah berapi rupanya.”
Dibentaknya Agatha yang mulai melawan. “Kamu ingin aku berbuat kasar padamu?”
Matanya menatap tak senang, nyalang. “Berbuat kasar? Bunuh saja sekalian!”
Tantang Agatha.
Agatha berdiri mendekati lelaki itu, menunggu
reaksi kemarahannya. Jiwa petualang Agatha baru bangkit setelah sejak dua hari
yang lalu terjajah. Tanpa ragu dan takut, Agatha menatap mata itu.
“Memang aku akan mebunuhmu.” Suara itu
bergetar dingin. “Baguslah. Lebih cepat lebih baik. Kalau boleh meminta, bunuh
saja aku sekarang, disini!” Laki-laki itu menggelengkan kepalanya.
“Tidak sekarang, tapi besok setelah matahari
sejajar dengan pucuk-pucuk pohon di hutan ini. Sekarang kamu boleh menikmati
malam ini dengan tenang. Malam terakhirmu!” Ditariknya gulungan sleeping bag
yang terikat di ranselnya lalu melemparkannya ke samping Agatha.
Danang, Rijal, apa yang kalian lakukan? Panik
mencariku? Apakah ayah sudah tahu, apakah kalian juga tahu aku disandera oleh
pemandu wisata gila yang aku juga tak tak tahu apa alasannya? Di tengah hutan
pula? Agatha menggeliat gelisah. Tak jauh di depannya, lelaki tak berperasaan
itu telah berbaring tenang. Sebuah api kecil yang mengantarai mereka
meliuk-liuk tak terarah, seperti perasaan Agatha.
“Sepertinya kamu sangat gelisah. Kenapa,
memikirkan kematianmu?” Lelaki itu memutar badan menghadap ke Agatha. Agatha
tertawa kecil. “Sejak tadi sore kamu mulai baik padaku. Kenapa tiba-tiba
berubah. Dua hari yang lalu kamu menyeretku memasuki hutan ini dengan bentakan
dan paksaan.” Agatha menghela nafas. “Pahahal aku tidak mengerti ada apa
sebenarnya. Aku tidak merasa bersalah padamu. Koq tiba-tiba kamu menodongku,
membekap mulutku. Lalu menyeretku sampai sejauh ini. Kamu seperti menculikku.
Tapi kenapa? Motifnya apa? “ Agatha menatap laki-laki itu.
Lelaki itu bangun dan mendekati perapian.
“Kamu tidak ingin mati penasaran yach?” “Setidaknya aku tahu alasan kamu
membawaku sampai ke sini,” sambung Agatha. Lelaki itu batuk-batuk kecil.
Sementara tangan kirinya menambah tumpukan kayu di perapian. “Apa kamu lupa,
Kamis pagi yang lalu kamu buat kesalahan besar?” “Kamis pagi?” “Ya, coba kamu
ingat, apa yang kamu lakukan waktu itu!”
Agatha merenung. Dengan berbantalkan tangan
dia mulai mengingat kegiatannya pada Kamis pagi. Agatha bangun pagi-pagi
sekali. Setelah sholat subuh, dia keluar, jalan-jalan di halaman, lalu masuk lagi
mengenakan sepatu.
Saat itu di kamar sebelah Agatha mendengar
suara gaduh. Agatha kesana menggedor-gedor pintu. Tak ada sahutan. Agatha pikir
itu ulah kucing yang memang banyak terdapat di penginapan. Jadi Agatha kembali
ke kamarnya, mengenakan sepatu lalu jogging menyusuri jalan-jalan desa yang
masih sepi.
Pukul tujuh lewat sedikit, Agatha kembali.
Suasana penginapan sudah ramai bahkan gempar. Penghuni kamar nomor 5, tetangga
kamar Agatha ditemukan tak bernyawa lagi di lantai kamar mandi.
“Jangan-jangan kamu.....” spontan Agatha
terbangun dan menatap lelaki yang duduk santi di balik perapian. “Memang aku
membunuhnya, tapi tak sengaja,” tandas lelaki itu. Mulut Agatha terbuka lebar.
Jadi malam ini aku benar-benar bersama dengan seorang pembunuh dan besok dia
pun akan membunuhku. Batin Agatha. Agatha mengurut dada berusaha menenteramkan
hatinya.
“Sekarang kamu tahu mengapa aku membawamu jauh
dari penginapan.” Sahut lelaki itu lagi. “Tapi aku belum mengatakan pada
siapa-siapa tentang suara gaduh pagi itu dan lagi aku tidak tahu kalau kamu ada
disana, “ bela Agatha. “Memang belum. Tapi seandainya aku tidak membawamu, saat
polisi datang dan bertanya pada semua tamu, tentu akhirnya akan ketahuan. Dan
satu-satunya orang yang bisa menyingkap tabir itu adalah kamu. Selain aku,
hanya kamu yang terbangun pada saat itu.” Tandas lelaki itu.
Agatha termangu. Ternyata bangun pagi tak
selamanya baik. Besok dia akan mendapatkan hadiah yang sangat menyakitkan
sebagai imbalan bangun paginya. Sayatan pisau, kibasan golok, atau tali
gantung? Entahlah. Agatha mencoba menepis bayangan buruk itu.
Malam dingin berlalu dengan sepinya. Agatha
hanya bersandar pada pohon besar sambil menerawang. Tak ada kata yang keluar
dari mulutnya saat dilihatnya lelaki itu beranjak pergi dalam kegelapan. Tak
ada senandung kecil yang menemaninya setelah lelaki itu lama tak kembali.
Sebuah benda kecil yang terasa dingin mengisi
saku jaketnya. Harmonika! Tangan Agatha menyentuh benda itu. Sejak dua hari
lalu benda itu tak pernah disentuhnya. Padahal ada banyak lagi yang ingin dia
ungkapkan lewat tiupannya. Lagu kematian...! Bibir Agatha membentuk segaris
senyum. Perlahan kepalanya menggeleng. Esok semuanya akan berakhir. Agatha
mendesah.
“Ayo jalan, Agatha! Jangan buang waktu lagi!”
Lelaki itu mengguncang tubuh Agatha. Agatha mengucek-ngucek matanya. “Heh
jalan! Jangan bengong begitu.” “Keterlaluan. Aku tidak diberi kesempatan basuh
muka? Setidaknya berkumur sedikit.” Agatha mengumpat kesal.
Lelaki itu menghunjamkan matanya ke mata
Agatha yang masih merah. Lalu dia menarik Agatha hingga berdiri. Dengan tergesa
dia menggulung sleeping bag dan memasangkan sebuah ransel ke pundak Agatha.
“Waktumu tidak lama lagi, jangan banyak bertingkah.”
Sejenak Agatha terpana. “Apa aku harus mati
tanpa sempat basuh muka dan berkumur? Ah nanti mulut ku bau.” Lelaki itu tak
menanggapi. Sekali sentak dia menarik Agatha mengikuti langkahnya menginjak
daun-daun kering yang masih basah oleh embun.
Satu jam berjalan mereka keluar dari hutan.
Hanya ada beberapa pohon besar yang menjulng tinggi di antara semak belukar
yang tidak terlalu lebat. “Kupikir sebelum mati, ada baiknya kamu melihat-lihat
keindahan alam di sekitar sini. Aku akan mengantarmu, menunjukkan tempat yang
indah-indah, mudah-mudahan kamu dapat mengenangnya.”
Agatha
menelan ludah. Ternyata niat lelaki itu untuk membunuhnya tidak berubah.
Agatha pasrah. Sejak kemarin memang Agatha
sudah pasrah. Perlahan-lahan kekagumannya pada pemandu wisata itu mulai luntur.
Minggu lalu saat tiba di desa Wisata Kemuning bersama Danang, Rijal dan belasan
orang lainnya, Agatha tertarik dengan seorang pemandu yang begitu tenang,
terkesan dingin namun tampak sangat bertanggung jawab. Namun siapa sangka orang
yang telah dia kagumi justru akan mengakhiri hidupnya.
“Wow.... indahnya...!” Agatha berseru takjub.
Mereka berdiri pada sebuah tempat yang cukup tinggi. Di ufuk timur semburat
merah muncul. Pancarannya belum mampu menyibak kabut yang mengambang di udara.
Lalu barisan pohon masih berselimut dingin. Beberapa ekor burung mulai bersiul.
Agatha menghirup udara sepuas-puasnya.
“Hari masih pagi. Tunggulah sampai matahari
bersinar. Tempat ini akan makin indah saat itu karena embun-embun ikut
memantulkan sinar matahari. Kalau kamu sudah puas nanti, turunlah lewat di
sebelah utara. Di balik pohon besar itu, ada jalan setapak ke bawah.” Lelaki
itu menunjuk sebuah pohon besar. “Aku menunggumu di bawah.” Lelaki itu pergi.
Hilang di balik rerimbunan daun. Agatha masih sempat menatap wajah yang tak
pernah tersenyum, walaupun kadang tertawa getir.
Ah andai kita bersahabat. Andai kamu mau
berubah fikiran untuk tidak membunuhku. Aku tak akan mengatakan apa-apa pada
siapa pun tentang kejadian pagi itu. Sebenarnya aku kagum padamu, tepatnya
tertarik. Batang hidung yang tegak, alis tebal bertaut, rahang yang kokoh,
badan yang tegap tinggi dengan kuliat agak gelap. Kau gambaran petualang
sejati. Telah lama aku ingin berkenalan sekaligus berteman dengan orang
sepertimu.
Aku telah menemukanmu, tapi mengapa aku harus
mati di tanganmu? Seketika Agatha tersentak. Suara hatinya berhenti. “Sayangnya
kamu seorang pembunuh.” Agatha mendesis lirih.
Dengan langkah ringan Agatha mulai mengitari
dataran hijau itu. Kakinya yang putih dibiarkan basah oleh embun. Agatha
membuka mata lebar-lebar, melihat segala bentuk keindahan yang ada. Menghirup
udara sebanyak-banyaknya lalu melepaskannya lewat rongga hidungnya. Alam yang
damai, sebentar lagi aku akan meninggalkanmu, bisik hati Agatha.
Di balik pohon yang besar, Agatha menemukan
jalan setapak yang menurun curam, licin. Tanpa mengenakan sepatu yang sejak
tadi dilepasnya, Agatha turun pelan-pelan. Setelah belok dua kali ke kanan,
Agatha sampai pada sebuah dataran.
Dan, air..... Agatha bersuka cita. Sepuluh
meter di depannya ada sebuah telaga yang berair bening. Ransel dan sepatu yang
sejak tadi dibawaya dia buang begitu saja lalu menceburkan diri ke telaga.
Agatha berenang, menyelam sepuasnya. Sejak meninggalkan Penginapan Kemuning,
baru sekarang Agatha mandi. Dua hari yang lalu laki-laki itu tak pernah
menunjukkan mata air pada Agatha. Hanya berjalan dan berjalan saja yang
diperintahkannya.
“Heh... kemana dia, lelaki tak berperasaan
itu,” gumam Agatha sambil memandang berkeliling, mencari sosok yang menjajahnya
dua hari ini. Di tepi telaga Agatha hanya melihat ransel biru yang selama ini
dibawa lelaki itu. Agatha naik, berjalan mendekati ransel itu.
Agatha memandang berkeliling sekali lagi,
namun tetap tak dilihatnya lelaki itu. Dengan ujung kaki, Agatha menyentuh
ransel itu, mengangkat-angkatnya sedikit. Saat itu Agatha melihat benda warna
putih di bawah ransel. Amplop putih.
Agatha menunduk mengambil amplop itu. Sebuah
tulisan di sudut membuat Agatha mengerti. Sebuah surat untuk Agatha. “Hmm,
lelaki yang aneh,” lagi-lagi Agatha menggumam. Agatha segera merobek amplop itu
lalu mulai membaca.
Untuk Agatha. Kamu sudah mandi di telaga itu?
Airnya segar kan? Pasti perasaanmu sekarang lebih baik setelah dua hari tidak
mandi. Perjalanan kita kemarin memang tak pernah dekat dengan mata air. Agatha,
aku tidak tahu mau berkata apa padamu, ternyata tindakanku menyeretmu demikian
jauh ke hutan adalah salah. Sebenarnya aku membawamu hanya untuk menutupi
perbuatanku di kamar nomor lima itu. Aku ingin menghilangkan jejak. Di pagi
buta itu, aku menyelinap ke kamar nomor lima untuk mencuri perhiasan dan uang
milik wanita separuh baya, Nyonya Tarida.
Aku tidak punya niat membunuhnya. Aku hanya
ingin mengambil perhiasan dan uangnya yang sempat kulihat di dompetnya saat
Nyonya Tarida kuantar berbelanja souvenir.
Waktu aku mengendap di kamarnya, ternyata dia
juga sudah bangun. Dia di kamar mandi. Di atas meja kulihat dompetnya terletak
begitu saja. Menit berikutnya dompet itu telah berpindah ke tanganku.
Sebenarnya aku merasa langkahku sangat ringan
dan hati-hati. Tidak menimbulkan suara. Namun wanita yang telah banyak makan
asam garam kehidupan itu mendengar juga langkahku, tepat saat aku berada di
depan pintu kamar mandi. Pintu kamar mandi seketika terbuka dan aku sangat
kaget saat mata kami bertemu.
Kemudian dia mundur ke belakang. Saat itulah
dia jatuh ke lantai. Aku sempat mendekatinya, tak ada nafasnya, nadinya juga
tidak berdenyut. Sesaat aku ragu. Secepat itukah dia mati? Aku tidak sempat
berpikir lagi. Suara ketukan di pintu membuatku kabur lewat jendela. Saat itu
aku belum tahu siapa yang mengetuk pintu.
Di taman aku mendekam dekat bunga pangkas.
Lalu kulihat kau meninggalkan penginapan, berlari-lari kecil ke jalan raya.
Dari situlah aku tahu bahwa yang mengetuk pintu Nyonya Tarida tadi adalah
dirimu. Suasana kembali sunyi setelah kau pergi.
Sekitar lima belas menit berikutnya, aku
kembali masuk ke kamar Nyonya Tarida. Jendela yang kulewati untuk kabur tadi
kukunci kembali seperti semula, hingga suasanya seperti tidak pernah ada yang
masuk lewat jendela itu.
Oh yah saat aku masuk itu kukira tubuh Nyonya
Tarida telah jadi mayat. Benar-benar tak ada lagi nafas yang keluar lewat
hidungnya.
Di kamarku, aku sangat gelisah menanti pagi.
Aku ingin tahu seperti apa reaksi tamu-tamu dan tentunya pemilik penginapansaat
mendapati mayat di kamar lima. Apakah aku akan ketahuan? Siapa saksinya? Siapa
yang melihatku?
Saat itu bayanganmu melintas. Hanya Agatha,
yang bisa menyingkap tabir di pagi buta itu. Aku segera menyusun rencana. Lima
menit sebelum mayat Nyonya Tarida ditemukan, aku menemui Mas Dar, pemandu
wisata yang membawamu ke Desa Kemuning. Kusampaikan pada Mas Dar bahwa kamu
ingin diantar keliling desa hingga masuk hutan. Untuk hal seperti itu memang
sudah sering terjadi di desa wisata Kemuning. Untuk wisata lokalnya yang lebih
mendalam, maka dipandu oleh pemandu lokal.
Aku masih ngobrol dengan Mas Dar ketika Pak
Leman, pemilik penginapan Kemuning muncul bersama beberapa pelayan yang membawa
nampan. Saat itu juga pelayan sudah mengantarkan susu ke kamar tamu. Nah
pelayan menemukan mayat Nyonya Tarida yang telah kaku di lantai kamar mandi.
Lalu suasana jadi gempar.
Saat itulah kamu tiba dari lari pagi-mu. Tak
sulit bagiku membawamu karena saat itu orang-orang fokus pada mayat Nyonya
Tarida.
Maafkan aku, Agatha! Aku sangat kasar padamu.
Rasa takut membuatku gelap mata. Membuatku dingin tak berperasaan. Setelah
berjalan dua hari, akal sehatku baru muncul. Selama berjalan itu, kamu tidak
pernah bicara sedikitpun tentang kematian Nyonya Tarida. Lalu kupikir mungkin
kamu tidak tahu kejadian yang sebenarnya. Dan mungkin kamu tidak melihatku
sedang menahan nafas di balik bunga pangkas itu. Ternyata betul, kamu tidak
tahu apa-apa. Sikapku sedikit lunak padamu. Apalagi saat beraksi pagi itu, aku
mengenakan topeng dan sarung tangan. Jadi bagaimana orang-orang, atau kamu bisa
mengenali aku? Tak ada saksi, tak ada sidik jari. Bersih. Topeng dan sarung
tangan itu telah aku bakar.
Tadi malam saat kau gelisah menanti pagi, aku
berjalan ke Penginapan Kemuning. Aku menemui Pak Leman, meminta tambahan bekal
untuk kita. Semua itu hanyalah alasan. Aku hanya ingin tahu perkembangan berita
kematian Nyonya Tarida. Sambil menyiapkan bekal, Pak Leman bercerita bahwa
sesuai pemeriksaan tim medis, Nyonya Tarida meninggal akibat serangan jantung.
Hari itu juga keluarga menjemputnya dan masalahnya selesai sampai disitu.
Barang-barang Nyonya Tarida telah dibawa semua
oleh keluarganya. Mereka tidak merasa kehilangan apa-apa. Berarti aku tidak
perlu cemas. Tidak ada motif kecurigaan yang mengarah kepadaku.
Agatha, pagi ini kamu bebas. Tidak ada lagi
laki-laki kejam yang memaksamu berjalan dan mengancam akan membunuhmu. Aku
bukan pembunuh. Aku hanyalah pemandu wisata miskin yang nekat mencuri demi
menyelamatkan nyawa seorang adik. Seorang adik perempuan-ku terbaring lemah di
rumah sakit sejak sebulan lalu. Kanker darah telah merenggut keceriaannya. Dak
aku tak pernah punya uang cukup untuk biaya pengobatannya. Untuk pertama
kalinya aku mencuri demi menolong adikku. Perhiasan yang aku curi itu telah aku
jual.
Agatha, aku percaya padamu untuk menyimpan
rahasia ini selamanya. Tolonglah! Demi menyelematkan adikku, janganlah bicara
pada siapapun!
Sekarang mungkin matahari sudah tinggi, sudah
sejajar dengan pucuk-pucuk pohon. Berkemaslah! Tinggalkan hutan! Dari telaga,
ikuti jalan setapak ke arah barat sejauh dua kilometer! Setelah itu membujurlah
ke utara empat puluh lima derajat! Kamu akan menemukan jalan setapak lagi.
Ikutilah jalan itu hingga di persimpangan, lalu pilih jalan yang lurus ke utara
untuk keluar dari hutan! Satu setengah kilometer berikutnya kamu akan menemukan
jalan raya. Kalau ingin kembali ke Desa Kemuning, ikutlah pada mobil yang
melaju ke barat. Arah sebaliknya menuju kota.
Gantilah pakaianmu, Agatha! Di dalam ransel
itu ada pakaianmu. Bila kamu sudah siap, mulailah berjalan mengikuti rute yang
kutuliskan tadi. Sekian. Salam, Valerio.
“Ckckckck, menakjubkan.” Seru Agatha sambil
kepalanya menggeleng tak percaya. “Hmm namanya Valerio. Petualangan ini akan
kubikin cerpen, nanti, “ lagi-lagi gumam Agatha. “Benar-benar petualangan yang
tak terlupakan. Paket wisata ekslusif.”
Hati Agatha kini ceria. Semua ketakutan dan
kecemasannya berganti decak kagum. Kagum pada kisah petualangannya. Ah
Valerio.... Agatha memutuskan kembali ke desa untuk menemui sang pemandu itu.
Setelah berjalan sekitar dua setengah jam,
Agatha menemukan jalan raya yang melintasi hutan. Sambil menyeka keringatnya,
Agatha melanjutkan perjalanana ke arah barat. Menyusuri jalan raya yang sunyi
itu. Kelelahannya berhari-hari seakan hilang, tenggelam di dasar telaga. Yang
ada hanya niat untuk menemui Valerio, menumbuhkan kembali kekaguman yang pernah
luruh.
Agatha menyetop sebuah mobil pengangkut buah
yang kebetulan melintas.
“Numpang, Pak!”
“Kemana Non?”
“Desa Kemuning, penginapan.”
“Kebetulan bapak juga mau ke sana mengantar buah ini. Naiklah!”
“Terimakasih, Pak. Aku disini saja.” Agatha naik di belakang. Duduk diantara tumpukan buah.
“Numpang, Pak!”
“Kemana Non?”
“Desa Kemuning, penginapan.”
“Kebetulan bapak juga mau ke sana mengantar buah ini. Naiklah!”
“Terimakasih, Pak. Aku disini saja.” Agatha naik di belakang. Duduk diantara tumpukan buah.
Hatinya bersenandung kecil. Membayangkan
pertemuannya dengan Valerio. Sesekali bibirnya tersenyum. Dengan bersandar pada
sebuah keranjang buah, ingatannya kembali ke hutan.
“Non, sudah sampai.” “Oh…!” Agatha melompat
turun lalu menatap berkeliling. Beberapa orang tampak bercanda di bawah pohon
jambu air. Separuh jalan tadi rupanya Agatha tertidur. “Terima kasih banyak ya,
Pak.” Agatha berjalan masuk melewati beberapa tamu yang tak dikenalnya.
“Hei….kamu?” Danang menghadangnya di pintu
masuk. “Apa kabar, Nang? Mana Rijal?” Agatha menghempaskan dirinya di sofa yang
ada di teras, sedangkan ranselnya dibiarkan jatuh ke lantai.
“Perginya koq ga bilang-bilang?”
“Sorry, Nang, ngga sempat. Kamu ngga kelihatan pagi itu, “ bela Agatha.
“Malam sebelumnya kan bisa ngomong. Supaya aku dan Rijal ngga kelimpungan cari kamu. “
“Sorry deh! Janji, lain kali aku bilang ke kamu!”
“Sorry, Nang, ngga sempat. Kamu ngga kelihatan pagi itu, “ bela Agatha.
“Malam sebelumnya kan bisa ngomong. Supaya aku dan Rijal ngga kelimpungan cari kamu. “
“Sorry deh! Janji, lain kali aku bilang ke kamu!”
Agatha bangkit meninggalkan Danang. Sambil
menyeret dua ranselnya, Agatha membuka pintu kamar lalu melompat ke tempat
tidur. Seluruh penat yang telah ia lupakan muncul kembali.
Hampir seharian Agatha tertidur. Saat bangun,
senja sudah sangat tua. Dari jendela kamar dilihatnya lampu-lampu taman telah
menyala.
“Baru bangun, ya?” Agatha menoleh ke sumber
suara itu. “Kamu, Jal? Tolong nyalakan lampu. Oh yach, Danang bilang kalian
mencariku.” “Tentu saja. Kamu pergi saat perasaan tak menentu. Nyonya Tarida
tergeletak kaku di lantai kamar mandi, terus kamu hilang. Aku dan Danang jadi
was-was. Takut terjadi apa-apa padamu. Rijal menarik kursi ke dekat jendela
lalu mendudukinya.
“Besok kita pulang. Hampir dua minggu disini
rasanya sudah cukup.” Putus Rijal “Ah kenapa secepat itu?” Protes Agatha. “Coba
Jal. Kamu telusuiri hutan, pasti kamu masih ingin disini. Ngapain pulang
cepat-cepat. Kota itu bising dan panas. Aku lebih suka di sini. Tenang, sejuk
dan juga hijau.
“Jadi?”
“Yach aku masih ingin disini.”
“Tapi aku tak punya waktu lagi, Ga.”
“Gimana dengan Danang?”
“Entahlah. Coba kamu Tanya dia. Tapi maaf karena besok aku betul-betul harus pulang.”
“Yach aku masih ingin disini.”
“Tapi aku tak punya waktu lagi, Ga.”
“Gimana dengan Danang?”
“Entahlah. Coba kamu Tanya dia. Tapi maaf karena besok aku betul-betul harus pulang.”
Agatha menatap Rijal, kecewa. “Kamu marah
padaku ya, Jal. Makanya kamu mau pulang besok?” “Oh no…! Aku tahu kamu suka suasana
desa ini. Justru aku minta maaf karena tidak bisa menemani lagi. Sudah yach,
aku keluar dulu. Lebih baik kamu mandi supaya merasa lebih segar!” Rijal
keluar.
Pagi-pagi sekali Rijal dan Danang berangkat.
Agatha berdiri di depan pagar terpaku menatap mobil yang membawa kedua
temannya. Di seberang jalan, pada sebuah kedai Valerio mengawasi Agatha.
Valerio tak habis pikir mengapa Agatha tak ikut pulang. Mungkinkah dia ingin
membalas perlakuan Valerio tempo hari?
“Tunggu!”
Agatha urung melangkah. Dilihatnya Valerio melintasi jalan menuju ke arahnya. “Mau kemana mereka?”
“Pulang.”
“Kamu?”
“Belum. Aku masih ingin di sini. Aku masih ingin masuk hutan.”
Agatha urung melangkah. Dilihatnya Valerio melintasi jalan menuju ke arahnya. “Mau kemana mereka?”
“Pulang.”
“Kamu?”
“Belum. Aku masih ingin di sini. Aku masih ingin masuk hutan.”
“Ah… maafkan aku, Agatha!” Valerio tampak
risih. Namun dia tetap mengikuti Agatha yang menuju ke balai-balai di samping
bangunan utama.
“Bagaimana kabar adikmu?
“Seperti kemarin-kemarin, masih terbaring lemah. Belum dioeprasi, dokternya masih di luar negeri”
“Perhiasan itu?”
“Hust… jangan keras-keras menyebutnya.” Valerio tampak tegang. “Aku sudah menjualnya.”
“Seperti kemarin-kemarin, masih terbaring lemah. Belum dioeprasi, dokternya masih di luar negeri”
“Perhiasan itu?”
“Hust… jangan keras-keras menyebutnya.” Valerio tampak tegang. “Aku sudah menjualnya.”
Valerio menghela nafas. Kedengarannya sangat
berat. Seakan tertindih ribuan bebatuan. Ia duduk tak jauh dari Agatha yang
bersandar santai pada sebuah pilar. Sesekali ditatapnya gadis yang telah
disiksanya beberapa hari.
“Agatha dendam padaku?” Suara Valerio memecah
sunyi.
“Karena apa?”
“Waktu di hutan itu.”
Agatha terkekeh. “Justru aku berterima kasih. Kamu membawaku pada sebuah petualangan. Ada rasa marah, takut, terancam, tapi toch pada akhirnya aku selamat. Benar-senar sebuah petualangan yang tak mungkin kudapatkan seandainya aku tetap disini, bersama tamu-tamu lain mengikuti program paket wisata. Kamu memberikan paket wisata ekslusif.”
“Karena apa?”
“Waktu di hutan itu.”
Agatha terkekeh. “Justru aku berterima kasih. Kamu membawaku pada sebuah petualangan. Ada rasa marah, takut, terancam, tapi toch pada akhirnya aku selamat. Benar-senar sebuah petualangan yang tak mungkin kudapatkan seandainya aku tetap disini, bersama tamu-tamu lain mengikuti program paket wisata. Kamu memberikan paket wisata ekslusif.”
“Ah Agatha berlebihan. Aku justru merasa malu
padamu, tapi juga merasa kagum. Sebenarnya sebelumnya aku tak pernah seakrab
ini dengan tamu. Rasanya risih bercanda dengan mereka kalau tidak sedang dalam
tugas. Tapi dengan Agatha, rasanya biasa, tidak risih. Mungkin karena kejadian
di hutan itu, dan karena Agatha tahu rahasiaku.”
Agatha tersenyum. Perlahan dia mulai menemukan
jalan untuk bersahabat dengan pemandu wisata itu. Hatinya lalu berandai-andai.,
berharap kembali ke hutan.
Valerio telah berubah. Pertama kali melihat
Valerio, Agatha merasa cowok itu sangat dingin. Lalu di hutan, Agatha merasa
cowok itu sangat kejam dan tak berperasaan. Sekarang lain lagi, Valerio adalah
sosok yang bersahabat.
Sejak dua hari ini Agatha tidak melihat sosok
Valerio. Menurut Pak Leman, pemandu itu mengantar tamu menyusuri sungai. Agatha
menghabiskan waktu berjalan-jalan di desa. Memancing di kali di samping
persawahan dan mendaki bukit-bukit kecil yang banyak terdapat di sisi jalan.
Hari masih pagi. Agatha mencari Pak Leman
untuk meminjam sepeda. Seorang pelayan mengatakan Pak Leman sedang menerima
tamu di kantornya. Agatha bergegas ke sana. Namun langkahnya terhenti di depan
pintu. Tertegun mendengar pembicaraan dari kantor Pak Leman.
“Jadi masih ada barang Nyonya Tarida yang
belum ditemukan?” Agatha lebih mendekat lagi ke pintu. “Benar, Pak. Sebelumnya
atas nama keluarga, kami meminta maaf pada Bapak. Kami tidak curiga pada siapa
pun yang ada disini. Hanya kami ingin mencarinya jika Bapak mengijinkan.”
Sesaat suara itu hilang. Terdengar Pak Leman batuk-batuk.
“Dua hari yang lalu notaris mendatangi kami,
membacakan daftar harta warisan yang akan dibagi pada kami. Kami lalu
mengumpulkan barang-barang yang bisa dikumpulkan, tapi kami tidak menemukan
kalung itu. Menurut adik saya, mama mengenakannya saat mau ke sini.”
Mendengar kalimat itu, Agatha menahan nafas,
di balik pintu. Dia merasa sangat tegang. Valerio terancam. Agatha menjadi
bingung sendiri, cemas. Namun suara di balik pintu kembali menarik perhatian
Agatha.
“Kalau Bapak mengizinkan, kami akan
mencarinya. Kalau bisa, hari ini.” “Ya, Anda boleh mencarinya, tapi jangan hari
ini. Bagaimanapun saya harus menjaga citra penginapan ini pada tamu. Sekarang
sedang banyak tamu yang baru datang. Saya tidak ingin mereka tahu peristiwa
tersebut. Bisa-bisa penginapan ini nantinya tidak laku lagi.” Suara Pak Leman.
“Lalu bagaimana, Pak?” “Besok Anda kemari lagi
dan mencari benda itu. Saya berharap bendanya bisa ditemukan. Apalagi sampai
hari ini belum ada tamu yang menempati kamar itu setelah ibu anda.” “Baiklah,
Pak. Mudah-mudahan kalung itu masih ada disana. Semasa hidupnya mama sangat
pelupa. Kami harap mama meletakkannya pada salah satu tempat di dalam kamarnya,
dan lupa mengenakannya lagi.”
“Ya saya juga berharap demikian. Baiklah, ini
kunci kamar nomor lima, kamar ibu anda. Bawalalah, sebagai jaminan bahwa kami
disini tidak masuk kamar itu sebelum anda datang.” “Tidak usah, Pak. Saya
percaya Bapak. Terima kasih, saya permisi dulu.”
Pintu kamar terbuka dan terlambat bagi Agatha
untuk sembunyi. Pak Leman telah melihatnya. Sesaat Agatha tercekat, kaget.
“Oh Nona Agatha, ada apa?” Agatha tersenyum
menutupi rasa kagetnya. “Mau pinjam sepeda, Pak. Tapi aku dengar bapak lagi
terima tamu.”
Pak Leman tertawa ringan. “Kenalkan ini Tuan
Sutrisno, putra Nyonya Tarida yang meninggal beberapa hari yang lalu. Agatha
berjabat tangan dengan tamu Pak Leman. “Kalau mau memakai sepeda, minta saja
sama Pak Karya di belakang, ya Non.” “Baiklah. Agatha ke belakang dulu, ya
Pak.”
Agatha mengayuh sepeda menyusuri jalan.
Sementara itu hatinya sibuk. Valerio kemana kamu? Dimana aku bisa menemukanmu?
Kamu harus mengembalikan kalung itu. Atau namamu akan tercemar dan kamu
terkurung di penjara?.
Ah tidak. Hal itu tidak boleh terjadi. Pasti
ada jalan untuk menyelamatkan dirimu. Tapi bagaimana? Kalung itu telah terjual,
lalu kamu menjualnya dimana? Pada siapa?
Valerio bersandar lemas pada pohon mangga yang
ada di halaman samping penginapan. Beberapa tamu yang telah dipandunya selama
dua hari telah masuk kamar. Jam tangannya menunjuk angka pukul tiga belas lewat
lima puluh lima menit. Suasana penginapan sunyi. Tamu-tamu sedang istirahat.
Seorang pelayan mengantarkan minuman pesanan
Valerio. Seperti biasa, Valerio hanya memberinya sedikit senyuman, tanpa tegur
sapa. Sebuah jendela kamar terbuka. Valerio menoleh dan mendapati wajah Agatha
di jendela itu. Secepatnya tangannya melambai. Saat yang sama, Agatha pun
bergerak cepat, menyambar tas yang baru saja diletakkannya di meja lalu berlari
ke luar, ke tempat Valerio.
“Dari mana? Pandangan Valerio menyelidik
Agatha yang berkeringat dengan nafas memburu. Seperti baru saja berlari dengan
jarak yang jauh. Tanpa menjawab, Agatha meneguk minuman yang diantar pelayan
tadi.
“Kamu dari mana saja?” Gantian Agatha yang
bertanya. “Memandu di sungai.” Valerio bergeser memberi tempat duduk pada
Agatha. “Baru saja aku mau mencarimu, untungnya kamu sudah datang.” “Iya, tapi
aku belum bisa membawamu ke hutan lagi.” Timpal Valerio.
Agatha menatap wajah Valerio yang nampak
letih. “Bukan untuk itu, tapi….” Agatha berhenti bicara. Diperhatikannya tempat
itu sekeliling. Lalu dengan suara pelan ia meyambung kalimatnya. “Anak Nyonya
Tarida datang mencari kalung itu.”
Valerio menghela nafas berat. Lalu
menghembuskannya kuat-kuat. Seakan ingin menyertakan keresahannya disitu yang
telah menggayuti hatinya setelah Pak Leman mengatakan hal yang sama, tadi.
“Kamu sudah tau juga?” Lirih suara Valerio.
“Aku bertemu dengannya tadi pagi. Besok dia mau datang lagi dan mulai mencari.” Jelas Agatha.
“Aku sudah tahu semua, Pak Leman telah menceritakannya tadi.”
“Jadi apa rencanamu?
“Entahlah. Sepertinya tidak ada. Uang itu telah kuserahkan pada pihak rumah sakit. Sekarang aku tidak punya apa-apa.” Suara Valerio putus asa.
“Aku bertemu dengannya tadi pagi. Besok dia mau datang lagi dan mulai mencari.” Jelas Agatha.
“Aku sudah tahu semua, Pak Leman telah menceritakannya tadi.”
“Jadi apa rencanamu?
“Entahlah. Sepertinya tidak ada. Uang itu telah kuserahkan pada pihak rumah sakit. Sekarang aku tidak punya apa-apa.” Suara Valerio putus asa.
“Ini…!” Agatha meletakkan tas di pangkuan
Valerio. “Sekarang pergilah! Beli kembali kalung itu!” Valerio menatap Agatha
dan tas itu bergantian. Bingung.
“Itu uangku, baru saja kuambil di bank.” Jelas Agatha.
“Jadi tadi kamu ke kota? Kamu….”
“Iya. Tapi sekarang bukan saat yang tepat untuk membicarakan itu. Pergilah secepatnya! Ingat, kita pun harus memikirkan cara memasukkan kalung itu ke dalam kamar.”
“Itu uangku, baru saja kuambil di bank.” Jelas Agatha.
“Jadi tadi kamu ke kota? Kamu….”
“Iya. Tapi sekarang bukan saat yang tepat untuk membicarakan itu. Pergilah secepatnya! Ingat, kita pun harus memikirkan cara memasukkan kalung itu ke dalam kamar.”
“Kita?”Valerio menatap Agatha. “Iya, kita.
Kamu dan aku. Ah sudahlah. Pergilah sekarang sebelum ada yang melihat kita di
sini! Ingat waktu tidak banyak.
Valerio terpana menatap Agatha. Namun Agatha
menariknya berdiri, lalu mendorongnya, memaksanya melangkah pergi. “Aku
berhutang padamu, Agatha. Sekali lagi Valerio menoleh. “Jangan pikirkan itu.
Pikirkan saja cara yang cepat untuk mengembalikkan kalung itu ke kamar Nyonya
Tarida.
Hujan rintik-rintik sedari sore berubah deras.
Kilat dan guntur susul menyusul disertai tiupan angin yang kencang. Setelah
makan malam tamu-tamu memilih masuk kamar. Penginapan sangat sunyi. Tidak ada
suara nyanyian atau canda sebagaimana biasanya. Hanya lampu-lampu yang menyala
yang menandakan adanya kehidupan di penginapan itu.
Agatha meringkuk gelisah. Malam sudah mulai
larut. Jam kecil di atas meja menunjuk angka sepuluh dan dua belas namun
Valerio belum juga muncul. Bermacam dugaan memenuhi kepala Agatha. Mungkinkah
Valerio tidak menemukan kalung itu. Kalungnya telah terjual lagi. Atau Valerio
kecelakaan. Jatuh, tertabrak mobil, atau disambar petir? Agatha bergidik ngeri.
Dia bersandar rapat ke dinding sambil memeluk
lutut, mencoba menenangkan hatinya. Tiba-tiba telinga Agatha tegak berdiri,
seperti mendengar sesuatu. Agatha mendekat ke jendela, dia mendengar ketukan
halus dan suara lirih yang memanggil namanya. Bulu tengkuknya berdiri. Entah
mengapa Agatha merasa takut.
Agatha mendekat lagi dan memasang telinga
baik-baik. Valerio? Secepatnya Agatha membuka jendela. Di luar Valeri berdiri
kedinginan. Badannya basah kehujanan. “Kenapa lama sekali?” Tanya Agatha cemas.
Tangan kanannya membantu Valerio masuk. “Kendaraan yang kutumpangi mogok. Aku
berjalan sekitar dua kilo setelah lelah menunggu kendaraan lain yang bisa
ditumpangi. Lagi pula aku harus ke rumah lagi, mengambil dompet Nyonya Tarida.
“Kamu punya handuk?” Agatha mengambil
handuknya yang tergantung di belakang pintu kamar mandi. “Kamu dapatkan
kalungnya? “Iya, uangmu habis terpakai semua.” Jelas Valerio sambil menggosok
badannya dengan handuk. Sesekali giginya terdengar gemerutuk kedinginan.
“Sekarang bagaimana?” “Aku akan membuka
jendela kamar sebelah. Setelah terbuka nanti, kamu masuk kesana dan meletakkan
dompet ini di dalam kamar. Dimana saja. Kalungnya sudah ada di dalam dompet.”
Valerio menunjukkan dompet Nyonya Tarida.
“Kenapa bukan kamu saja?” “Sepatuku kotor.
Pasti meninggalkan bekas di lantai seperti ini.” Valerio menggeser kakinya dan
tampak bekas sepatunya di lantai.
Valerio membuka jendela dengan menggunakan
pisau. Tak lama kemudian, kepalanya menyembul di jendela. “Agatha, jendelanya
sudah terbuka.”
Sekilas Agatha melihat jam. Pukul dua puluh
dua lewat tiga puluh tujuh menit. Agatha bangkit. Dompet Nyonya Tarida telah di
genggamnya. Jantung Agatha berdebar-debar. Ia keluar lewat jendela, lalu
merapat ke dinding untuk menghindari air hujan.
“Naiklah ke pundakku, untuk mencapai jendela.”
Agatha menatap Valerio, tak mengerti. Valerio kemudian jongkok. Letakkan kakimu
disini, di pundakku. Oh yach letak benda-benda di dalam sama dengan di kamar
kamu. Kamu tidak akan kesulitan melangkah.”
“Di dalam gelap?” suara Agatha bergetar.
“Sebaiknya begitu. Ini sebuah senter kecil, bawalah! Tapi kalau bisa, jangan
dipakai.”
Agatha menguatkan hati. Dengan bantuan
Valerio, akhirnya dia masuk. Agatha melangkah sambil meraba-raba. Sesaat dia
bingung tak tahu dimana meletakkan dompet yang dipegangnya. Lalu dia meletakkan
dompet itu di bawah kasur, lalu secepatnya kembali mendekati jendela.
“Selesai?” “Iya, cepat keluarkan aku dari
sini!” suara Agatha gemetar. Valerio membantunya keluar, lalu menutup rapat
jendela itu, seperti tidak pernah terbuka. Kemudian membantu lagi Agatha untuk
masuk ke kamarnya.
“Kamu ketakutan?” Valerio mendudukan Agatha.
“Tidak apa-apa. Tadi Cuma ingat Nyonya Tarida terkapar disana.” “Lalu,
dompetnya disimpan di mana?” “Di bawah kasur.” “Baguslah. Oh yah, Agatha, aku
harus pergi” Valerio bangkit. “Hujan deras begini?” “Tidak apa-apa. Aku tidak
boleh berlama-lama di sini. Di kamar mu pula. Maafkan aku yach! Dan terima kasih
kamu telah membantuku. Aku pergi dulu.” Valerio keluar lewat jendela.
“Hati-hati,” bisik Agatha. Valerio mengendap-endap dan akhirnya hilang dalam
gelap yang dingin.
Sebuah mobil pajero sport meninggalkan halaman
Penginapan Kemuning. Agatha yang duduk di kursi depan bersenandung kecil.
Sesekali ditiupnya harmonica kesayangannya dengan nada riang.
“Stop dulu, Yah! Mobil itu berhenti. “Ada apa
lagi? Liburan sudah nombok seminggu apa belum cukup?” “Ah Ayah, aku cuma mau
pamit sama cowok yang disana.” Agatha menunjuk seseorang yang berdiri di
pinggir kali. “Pacar yach?” Ayah menggoda Agatha. “Bukan… dia Valerio.” Agatha
berlari ke pinggir kali.
“Hai…!” Sapa Agatha. “Agatha, ada apa?”
Valerio kaget. “Pamit. Ayah menjemputku.” Agatha jongkok, mengamati tali pancing
yang menjuntai ke kali. “Valerio, kalau aku kesini lagi, mau kan membawaku lagi
masuk hutan?” “Cuma masuk hutan? Tidak meminta yang lain?” “Apa?” Agatha balik
bertanya. “Tidak minta di bayar? Uangmu, Agatha, yang dipakai membeli kalung
itu lagi.” “Ah sudahlah. Lupakanlah! Aku harus pergi, tuch Ayah sudah tidak
sabar.” Agatha berdiri melangkah.
“Agatha, tunggu!” Valerio melepas sebuah
kalung yang melingkari lehernya. “Untukmu,” diulurkannya kalung itu. “Agar
Agatha selalu ingat semua yang terjadi, karena sebuah kalung. Pakailah!”
Agatha menerima kalung itu. Lalu mengenakannya
di lehernya. “Terima kasih yach, aku pergi dulu. Jaga diri” Agatha berlari
kembali ke mobilnya. Perlahan mobil itu bergerak menjauh. Semakin lama semakin
jauh dan akhirnya tidak kelihatan sama sekali. Sunyi sepeninggal Agatha. Sangat
sunyi. Bahkan seorang Valerio pun merasakan sunyi yang sangat sunyi. Seperti
ada sesuatu yang pergi dari dirinya.
#fiksi