Ketika rasa
itu tak lagi sama, maka kau akan berusaha membebaskan dirimu darinya.
Cuaca akhir-akhir
ini begitu terik. Angin yang membawa debu sesekali berhembus. Aromanya yang
panas terkadang menusuk hidung. Suasana siang yang gerah seperti menggambarkan
hatiku. Telah beberapa bulan terakhir ini damai dan sejuk yang dulu selalu merajai
hatiku, sirna. Menguap bersama angin kering.
Faiz salah
satu teman kampus yang berhasil memenangkan hatiku dari sekian teman lainnya. Dia
pula yang berani bertemu orang tuaku menyampaikan hajatnya untuk hidup bersama.
Serta dia yang mendapat restu dari orang tuaku, mendapat kepercayaan untuk
memindahkan tanggung jawab ayahku kepadanya. Singkat cerita kami menikah saat
masih sama-sama kuliah. Mengingat kami sudah di tingkat akhir waktu itu, dan
Faiz sudah bekerja juga di sebuah perusahaan swasta membuat kami mantap untuk
menikah di usia muda.
Hidup begitu
indah. Dunia ini penuh warna yang selalu mampu membuatku tersenyum. Membuat aku
tidak pernah berpikir akan akhir dari kebersamaan kami.
Lepas kuliah,
aku diterima bekerja. Kehidupan kami semakin bahagia. Hampir tidak ada masalah
ekonomi mengingat kami berdua masing-masing punya penghasilan. Dan hal yang
paling membahagiakan adalah semua gaji Faiz masuk ke rekening ku. Dia hanya
mengambil biaya bbm dan rokok, itupun aku yang transfer ulang ke rekeningnya. Sungguh
Faiz adalah suami yang sangat manis.
Sebagai istri,
tentunya aku pun tak mau mengecewakan Faiz. Sedapat mungkin segala tugas dan
kewajiban aku penuhi sebelum meninggalkan rumah. Dan aku selalu berusaha tiba
lebih awal di rumah pada saat pulang kerja. Sesuai pesan ibu, seorang istri selayaknya
menunggu suami pulang kerja dengan sumringah. Suami tidak boleh menemukan rumah
dalam keadaan kosong. Petuah ibu ini berusaha aku jalankan sebaik mungkin. Sampai
dua tahun pernikahan kami, aku selalu bisa menyambut Faiz pulang kerja dengan
penuh senyum dan tentunya dalam kondisi yang rapi dan harum. Bukan pakai
daster.
Aku berani
mengatakan pernikahan kami bahagia. Kehidupan kami bahagia. Walaupun sama-sama
sibuk di pekerjaan masing-masing, namun kami tidak tahan untuk tidak saling
memberi kabar dalam delapan jam bekerja. Aku benar-benar bersyukur dengan
kehidupanku.
Tapi kemudian,
kisah bahagia kami mulai terusik.
Tak terasa
air mataku meleleh. Hari ini terasa sepi sekali. Hari ke delapan tanpa tegur
sapa. Kami saling diam pasca kejadian Jumat sore. Kala itu Faiz pamit hendak
keluar kota. Memang terkadang kantornya mengadakan meeting di luar kota, tapi
biasanya Faiz mengajakku turut serta. Ini untuk pertama kalinya aku tidak
diajak.
Sebagai istri
yang baik aku berusaha sabar dan mengerti. Boleh jadi ini pertemuan yang sangat
penting sehingga tidak diperbolehkan membawa keluarga. Aku siapkan pakaian
sebagaimana biasanya. Menyetrika sampai licin dan melipatnya pehun cinta. Aku tidak
mau pakaian Faiz kusut sedikit pun.
Saat sedang
berbenah pakaian, Faiz sedang mandi. Ponselnya yang sementara di charge berdering
sejak tadi. Dari kamar mandi kudengar dia berteriak meminta aku menjawab
telepon. Aku langsung mengambil ponsel tersebut dan mendengar suara perempuan
menanyakan Faiz. Dan spontan aku jawab lagi siap-siap, bentar lagi berangkat. Dia
lalu mengucapkan terima kasih dan kami menyudahi percapakan. Tanpa rasa curiga
aku letakkan ponsel dan kembali fokus ke tas pakaian Faiz. Mengecek segala
keperluannya untuk dua hari di luar kota.
Ponsel Faiz
berbunyi lagi. Nada pesan WA dan entah kenapa aku tergoda untuk untuk
membukanya. Pesan dari Manda. Dan…..
Tubuhku serta
merta bergetar dan kurasakan suhu tubuhku perlahan menurun menjadi lebih dingin.
Mataku nanar menatap layar ponsel. Ada banyak ikon kiss, love dan
kalimat-kalimat mesra yang berbalas. Dan terakhir ada nama hotel beserta nomor
kamar di resort wisata pantai. Aku terhenyak. Mataku basah. Tanpa sengaja aku
melempar ponsel itu, pas Faiz sedang keluar dari kamar mandi.
“Eh
apa-apaan sih. Koq ponsel di lempar?” Dia memungut ponselnya. Lalu mendekat
kepadaku. Kurasakan dia memelukku dari belakang dan aku menolak. Secara halus
aku membebaskan diri dari pelukannya. Dan membuang diriku ke kasur. Aku menangis
sejadi-jadinya, tanpa mengeluarkan satu katapun. Aku merasa sangat marah dan sakit
hati.
Entah berapa
jam aku menangis. Lampu-lampu di taman sudah menyala ketika aku berusaha
membuka mataku yang terasa perih. Kamar remang-remang karena hanya lampu baca
yang menyala di sudut kamar. Kulihat satu bayangan yang duduk tercenung di sofa
depan jendela. Faiz…?
Ya, Faiz
masih di kamar. Padahal tadi katanya sudah mau berangkat. Karena jam 8 malam
sudah harus ikut meeting. Meeting? Meeting apaan? Kerjaan apa?
Aku
mendadak muak melihatnya, dan tidak ingin menegurnya. Untuk pertama kali sejak
mengenalnya aku merasakan benci kepadanya. Dia telah mengkhianati komitmen
kami. Dan rasanya sangat sakit.
Aku berusaha
bangkit. Kelamaan menangis membuatku merasa haus. Aku berjalan ke dapur. Membuka
kulkas lalu mengambil sebotol air dan duduk di kursi. Baru aku sadar bahwa malam
ini kami belum makan. Biarlah, aku tidak sedang tidak ingin menghidangkan
makanan. Masa bodoh.
Faiz ikut
ke dapur. Dia duduk di depanku. Aku menunduk sambil meremas-remas botol
minuman. Aku sedang tidak mau berbicara dengannya, juga tidak mau melihatnya. Chat
di WA tadi cukup menjelaskan siapa Manda dan apa hubungan mereka. Aku tidak
membutuhkan penjelasan tambahan. Suasana beku. Lagi-lagi aku menangis. Aku melangkah
gontai ke kamar dan menguncinya.
Pukul 9
pagi aku terjaga. Aku berusaha bangkit. Mataku kini hanya serupa garis. Aku tidak
dapat lagi melihat dengan jelas. Aku melihat beberapa panggilan di ponsel. Dari
dari ibu dan dari Faiz. Tiba-tiba aku ingin muntah.
Setelah mandi
aku merasa agak lebih baik. Aku berjalan ke dapur, perutku kosong dari semalam.
Kutemui Fais terpekur di meja makan dengan nasi goreng dua porsi di depannya.
“Sudah
bangun, Sayang. Ayo kita makan, kamu pasti lapar.” Dia bangkit menarik tanganku
mendudukkanku di kursi. “Makan yah, nanti kamu sakit! Aku menghindari
tatapannya. Aku dorong nasi goreng itu menjauh. Aku benar-benar tidak selera. Tidak
selera memakan masakanannya dan tidak selera bicara dengannya.
Faiz
pasrah. Dia melepaskan gengamannya di lenganku. “Maafkan aku, Mia”, suaranya
lirih. Kemudian dia tergugu. Kulihat badannya terguncang. Tapi aku benar-benar
tidak bisa. Seperti apapun dia saat ini aku tidak peduli.
Aku bangkit
mendekat ke kulkas mengambil sebotol air dan melangkah ke belakang. Aku duduk di
balai-balai. Tempat ini biasanya selalu jadi tempat kami menghabiskan waktu
kala di rumah. Hobi Faiz pada buku membuatnya betah lama-lama membaca di
balai-balai dan biasanya aku menemani sambil bermanja padanya. Air mataku
meleleh lagi.
Seminggu berlalu.
Rumah kami seperti kuburan. Sepi dan beku. Memang Faiz tidak jadi berangkat
waktu itu, tapi jika mengingat deretan kalimat di WA yang sempat aku baca
hatiku kembali berdarah-darah. Aku merasa sakit.
Seminggu ini
aku tetap pulang lebih cepat. Tapi aku tidak pernah lagi menyambutnya di pintu.
Aku lebih banyak menghabiskan waktuku di kamar. Mencoba tidur dan biasanya
benar-benar tidur hingga tidak menyadari Faiz sudah pulang.
Kehidupan kami
menjadi sangat monoton. Aku tidak pernah lagi mengurusnya. Malah terbalik dia
yang mengurusku. Dia menyiapkan pakaianku walau tidak sekalipun aku memakai
pakaian yang telah dia siapkan. Dia siapkan sarapan walau tidak sekalipun aku
menyentuhnya. Maafkan aku, Faiz tapi aku masih marah padamu.
Aku sedang
menyiapkan keberanian untuk membebaskan diri darimu.
Aku ingin
pergi darimu, Faiz. Karena rasa yang dulu ada kini tak lagi sama. Karena kepercayaan
yang dulu ada kini tak lagi sama.
Maafkan aku,
cintaku. Saat ini aku sedang mengurus surat kebebasan. Aku ingin bebas darimu, aku ingin membebaskan hatiku dari rasa sakit yang luar biasa.
#fiction
Sumber foto
: https://www.google.com/imgres?imgurl=https%3A%2F%2Fassets-a1.kompasiana.com%2Fitems%2Falbum%2F2018%2F02%2F07%2Fimages-5a7a7525dcad5b481018e702.png&imgrefurl=https%3A%2F%2Fwww.kompasiana.com%2Fevrisyaglorys%2F5a7a75ebcaf7db410b5be4c2%2Fpernikahan-tak-selevel-awal-dari-prahara-rumah-tangga&docid=RlvJnkm8msVdvM&tbnid=V4zoP-ixLIx6jM%3A&vet=10ahUKEwjqg_DO_sHhAhWbd94KHe8PBFUQMwhBKAIwAg..i&w=543&h=271&safe=strict&bih=607&biw=1280&q=prahara%20rumah%20tangga&ved=0ahUKEwjqg_DO_sHhAhWbd94KHe8PBFUQMwhBKAIwAg&iact=mrc&uact=8
No comments:
Post a Comment