“Huwa Lele (huwa lele)
Lele-lele ko ria (pergilah kau jauh)
Riasena Tauwe (pada padi orang lain)
Accekengi Buana (bertenggerlah pada buahnya_
Anremoi Daunna (kau boleh makan daunnya)
Inummoi
Waena
(kau boleh meminum arinya)
Huwa Lele “ (huwa lele)
Seketika telingaku tegak. Jadi lagu itu masih dinyanyikan untuk menghalau burung pipit? Aku bangkit
perlahan sambil terus mendengar lagu
yang didendangkan berkali-kali. Dari jendela tampak sebuah dangau di tengah
sawah, di antara permadani kuning. Beberapa kelompok burung pipit terbang membelah pagi
yang masih dingin ketika
orang-orangan yang di pasang di sudut-sudut sawah bergerak. Pasti orang yang di
dangau menarik tali penggeraknya, seiring
dengan lagu huwalele.
Matahari belumlah tinggi, embun
di dedaunan,di rerumputan berkilau di timpa cahaya. Kuhirup udara lalu kuhembuskan perlahan. Gambaran masa kecilku terang kembali. Saat
aku sering
ikut ke sawah bersama kakek menghalau burung-burung pipit. Aku duduk di dangau
sambil menarik-narik tali penggerak orang-orangan sawah. Sedangkan kakek menyanyikan lagu itu berkali-kali hingga aku aku pun dapat menghafalnya.
Rasanya aku aku ingin kesawah lagi ikut menghalau burung-burung itu, toh
lagunya masih ku hafal.
Hmm teringat Adam,
apakah dia masih disini juga ? Seperti apakah dia sekarang ?. Setelah berpisah begitu lama ?. Adam sahabat kecilku, anak mantri kesehatan langganan
kakek. Dulu kami sama-sama kesawah menghalau burung-burung atau ke kali
memancing bahkan mandi bersama kawan-kawan
yang lain. Ada Ali ,Anton dan Iwan serta Reni. Kemanakah mereka ? , sudah
pindah atau tetap di desa ini?
“Luna!” Suara di ambang pintu membuatku menoleh, ada nenek berdiri sambil memegang gagang pintu.
“Bagaimana
tidurnya nyenyak? “
“Lumayan,
nek. Sampai-sampai Luna tidak mendengar adzan subuh, mungkin waktu itu Luna
masih meringkuk , dingin sekali “.
‘’Ya sudah,
sekarang kamu mandi dulu!.”
“Tapi Luna
masih kedinginan, Nek.’’
“Setelah
mandi, kamu tidak merasa dingin lagi. Mandi di pagi hari justru untuk mengusir
hawa dingin. Ayo!” Nenek berlalu tanpa
merapatkan pintu kamar.
Jendela kamar kubuka lebar-lebar, angin pagi yang bertiup
sepoi-sepoi menerpa hidungku. Ah aromanya sangat
kusuka. Aroma bulir padi yang hampir matang, bukankah waktu kecilku aku juga suka aroma
ini?
“Nek, Luna mandi di sungai yah?”
“Loh air
pancuran sudah sampai di kamar mandi, kenapa jauh-jauh ?”.
“Siapa tahu Luna bertemu dengan teman-teman yang
dulu, nek “. Luna mau lihat pakah mereka masih ingat Luna atau sudah lupa.
Waktunya kan sudah lama ?’’.
“Kamu
sendiri masih ingat mereka ? “.
“Iya, Nek . Apapun yang di desa in tak mungkin Luna
lupakan, semuanya berkesan. Berangkat
dulu”.
Aku berlari-lari kecil menuruni
jalanan setapak. Masih terdengar suara Nenek berpesan agar aku hati-hati.
“Iya,” jawabku sambil terus berlari. Reimbunan daun masih basah, beberapa ekor burung
bernyanyi riang terbang dari dahan ke dahan. Seperti mengucapkan selamat datang
padaku.
*******
Seperti juga
dulu, banyak orang yang mencuci pakaian di sungai. Tapi mana Reni? Aku tidak menemukan wajah di antara gadis-gadis
yang berjejeran di batu-batu besar dan lapang. Seperti orang linglung, kuteliti
wajah mereka satu-persatu. Beruntung mereka
mau tersenyum dan mengajakku bergabung.
“Orang baru yahh?” seseorang
menypaku
sambil tersenyum
“Iya, tapi orang lama.
Maksudnya orang lama yang baru datang lagi” jawabku sambil tersenyum.
“Namaku Lela,”serunya sambil
mengulurkan tangan.
Kusambut
uluran tanganya, ”aku, Luna” jawabku masih dengan senyuman. Lalu satu persatu mereka menyebut
namanya. Kami cepat akrab, toh dari dulu pendudk desa ini terkenal ramah.
“ Kalian kenal Reni nggak?”.
“Adik Iwan
?”.
“Iya, anak pak Hasan “ jawabku.
“Itu sih tetangga Sari, ya kan Sari ?”.
“Benar tapi
akhir-akhir ini kami jarang bertemu.
“Oh. Kenapa?”
“Reni sebentar lagi menikah. Jadi ndak boleh keluar rumah, itu sudah jadi peraturan di sini“
“Reni mau
menikah, kapan? “
“Minggu
depan, kamu kesana juga kan?”
“InsyaAllah
deh, mudah-mudahan nenek sama kakek di undang. Jadi aku bisa ikut “.
“Pasti Luna, orang sedesa di undang semua “.
“Apakah kamu cucu pak Karyo? “.
“Benar. Koq
Lela
tahu ?”
“Aku ingat
Reni sering bercerita tentang temannya yang di tinggal kota. Temannya itu ya
kamu.” Sesaat Lela terdiam.
“Ternyata Reni
benar. “
“Tentang apa?” tanyaku sambil berusaha menaiki sebuah batu.
“Kamu
orangnya baik, ramah. Sebenarnya dulu kita juga diajak Reni bermain
sama kamu. Tapi kita malu. begitu
kita mau, kamu malah sudah pergi.”
“ Ah.... sudahlah, sekarang kan kita sudah main sama-sama . Ayo berenang!”
Kemudian
kami sama-sama berenang, menyelam sepuasnya.
Pohon jambu air di halaman samping
sudah tinggi dan lebat. Balai-balai yang ada di bawahnya masih juga di situ,
bahkan sudah di perbaiki kakek. Disini dulu kami juga sering menghabiskan
waktu.
“Memang dia di sini, jenuh katanya
di kota sekalian dia jenguk kakek dan nenek.”
Aku
bersandar pada pohon jambu sambil memejamkan mata. Suara Nenek ? Dia bicara dengan siapa yahh?.
“Luna...”
“Ya, Nek,
segera aku beranjak masuk rumah . Coba lihat siapa
yang datang.
Kuteliti orang yang duduk di dekat meja. “Loh ini kan… apa kabar, Ren?”
“Baik. Kamu
sendiri bagaimana?”
Lalu kami
sama-sama berpelukan melepaskan kerinduan. Ya cukup lama. Lima tahun baru bisa bersua
kembali. Sisa waktu kami ngobrol, bernostalgia tentang
masa kecil kami.
“Baiklah, Lun. Aku pamit dulu.
Jangan lupa kamu harus datang !.
”Beres, Ren calonmu gagah nggak ?”
“Ah lihat
saja nanti “.
Kuantar dia
sampai di pintu pagar.
********
Matahari pun mengintip di balik
dedaunan, semilir angin berhembus pelan membuat aku betah memandangi hamparan
padi yang menguning. Saat-saat seperti ini aku
kembali ingat Adam, Ali, Anton,Iwan dan
Reni.
“Sore ini , aku merasa sangat
rindu pada Adam, Ali, Iwan, dan Reni. Telah bertemu denganku, bahkan tadi
siang kami memancing bersama di kali. Seandainya kami hadir semua, pasti lebih
seru lagi . Tapi kemana Adam? Kemana Ali?.
Aku rindu pada candaan mereka,
rindu pada tiupan suling Ali, rindu pada tingkah Adam yang kocak, aku ingin
bertemu mereka di sini, di desa yang teduh dan juga damai. Aku ingin menyusuri pematang , duduk di dangau, mandi di sungai , memancing di kali. Masuk hutan sambil memungut buah-buahan yang
berserakan di antara dedaunan kering, menikmati nyanyian burung yang merdu.
Jalanan masih basah bekas hujan
semalam, bahkan pada bagian yang rusak ada air yang tegenang . Sepatu putih
yang kupakai sedikit kotor terkena sedikit percikan air. Namun aku tetap
berlari sambil menghirup udara pagi.
“ Beberapa penduduk yang telah
kenal padaku menyapa ramah, pagi-pagi
begini pasti mereka hendak ke sawah
menjaga padi-padi dari incaran burung-burung.
“Hai kamu,,,,,,”
Aku menoleh,
seorang menjajariku . Tubuh atletisnya menandakan bahwa olahraga adalah salah
satu aktivitasnya. “Siapa ya..?” Kuamati wajahnya.
“ Oke kita berhenti dulu, kenalan dulu.“ Aku berhenti di sisinya. Ah,,, dia seperti......
“Padi mulai
menguning yah? Ingat nggak lagu Huwalele
yang sering di nyanyikan?
“Adam?”
Cowok yang di depanku itu terkekeh. Ya benar, dia Adam
sahabat kecilku.
“Luna, belum tua kau sudah
rabun.”
Sory, Dam.
bukannya rabun , tapi hampir pangling... Habis
kamu berubah, nggak seperti dulu..”
“ Ya,,, jelas dong. Kan kita sudah dewasa.
Bukan besar lagi, jadi nggak perlu heran kalau aku tampak gagah, bukan begitu?”
“ Hmm,” seruku pendek sambil membenarkan perkataannya dalam hati.
Memang dia kelihatan gagah,
alisnya yang tebal menaungi mata elangnya itu bagian yang sangat ku kagumi di
wajahnya. Lalu hidung dan bibirnya tidak jelek amat. Pokoknya serasi hingga
wajah itu terlihat menarik.
“ Hei, jangan melihatku seperti
itu dong ! apakah ada yang aneh di wajahku?.”
“ Ah nggak. Biasa-biasa
saja . Tapi bener Dam, Kamu memang gagah, apalagi bodimu bagus. Banyak yang
naksir yah?”. Adam tertawa terbahak-bahak , deretan giginya tampak rapih.
“Bisa saja kamu, Lun. Tapi kamu juga cantik, sungguh. Kamu berubah hingga
aku juga hampir tidak mengenalimu. Untung kakekmu bilang kamu memakai kaos kuning dan melilitkan handuk di
lengan kanan. Dengan petunjuk aku berani menegur kamu tadi.
“Kamu dari rumah?“
“Iya. Tadinya
aku mau mengajakmu lari bersama, tapi kamu sudah pergi jadi kususl saja.“
Kami
berhenti, Dengan nafas sedikit memburu aku melap butiran-butiran keringat yang mulai bercucuran.
“Sudah punya pacar, Lun? “ Suara Adam membuatku mendadak menatap heran
padanya.
“ Kamu
sendri gimana?”
“ Ya...
belum”
“Kok orang
gagah gitu nggak punya pacar?”
“Bukan
jaminan Lun, ada sih yang pdkt tapi rasanya gak sreg aja.”
“Ah jangan sombong. Bilang aja
belum laku, buktinya belum punya,” sergapku sambil terkekeh.
“Kamu sama
saja, kan?” Burunya.
Serta-merta
aku menyetop langkah, “siapa
bilang?“
“Kamu nggak
menjawabnya, berarti...”
“Ah sudah! Kenapa pula pagi-pagi
ngomingin pacar. Yang lain dong,
Cerita tentang keluargamu misalnya, orangtuamu apa kabar, sehat semua kan? Sekarang tugas di mana sih? Hey, kenapa tertawa?”
“Kamu masih
seperti dulu, suka mengelak kalau mersa tersudut, iya
kan?” Adam berlari dengan tawanya sebelum kepalanku mendarat di pundaknya.
“Awas loh!’ ancamku dari belakang sambil berusaha menjajarinya.
Akhirya Ali muncul juga , di pesta
perkawinan Reni. Kami lima sekawan bertemu. Segala irama semasa kecil kembali berputar.
Malam mulai diam. Rumah Reni sudah
tenang , tamu-tamu sudah pamit sekitar setengah jam tadi. Reni dan suaminya
pamit pula hendak istirahat.
‘ Sebaiknya aku pulang juga, Wan.“ Aku beranjak menjabat tangan Iwan, Ali, Anton dan Adam.
“ Lho kita
masih mau ngobrol.” Ali protes.
“ Udah
larut, Li. Besok aja!“
“Aku yang
ngantar yah!“ Adam berdiri dari duduknya yang setengah rebah. Ali, Anton dan Iwan mengantarku keluar. Kemudian mobil Adam melaju dengan pelan membela
dinginya malam.
“Loh,
kok berhenti. Ada yang rusak,Dam?” Kutatap Adam yang terdiam.
“Hey ,ada apa ?“ Kugoyangkan bahunya.
“Coba diam dulu, Lun! “
Dengan
perasaan heran aku terdiam sambil menatap Adam .
“ Kamu dengar suara jangkrik tadi?”
“ Iya,” seruku singkat.
“Itu punya
makna bagiku, nyanyian jangkrik ini selalu mengingatkanku pada desa ini. Pada
kamu, Reni, Ali, Anton dan Iwan. Selalu mengingatkan aku pada cita-cita masa kecilku.”
“Cita-cita masa kecil, Apa itu? “
“Bersamamu!”
“Sekarangkan
kita bersama.”
“Betul Lun,
tapi maksudku, bersama, dalam arti yang sesungguhnya. Jujur saja Lun,
aku menyukaimu sejak kita masih kecil.
Dan setelah
sekian tahun kita tidak berkomunikasi ternyata perasaan itu masih sama. Kurasa sekarang saat yang tepat untuk berterus
terang, karena kita sudah sama-sama dewasa.” Sunyi. Suara jangkrik
meningkahi.
Seperti aku, Adam terdiam setelah
ucapannya tadi. Adam menyukaiku? Kenapa? karena kami telah bersama sejak dulu.
Tapi aku merasa tidak mencintainya, aku hanya sering merasa
rindu padanya, atau perasaan rindu berarti cinta, Tapi aku juga pernah rindu
pada Ali, Anton dan Iwan, Ah,,,, Aku bingung.
“Kamu tidak pernah menyangka,
yah?” Adam kembali memecah kesunyian.
“Coba ingat
masa kecil kita yang indah, Lun!
Saat
kita bernyanyi Huwalele,
memancing, berenang di sungai atau masuk hutan. Ingat dengan jelas! Saat itu aku sangat dekat denganmu, takut
terjadi apa-apa padamu. Waktu itu aku belum tau makna perasaanku padaku, Kita
masih kecil, Lun.Perasaan kita masih murni.
Sampai kemudian kamu pindah ke kota, kita mulai besar saat itu, Aku sudah di SMP. Aku merasa kehilangan,Lun, tapi tidak tahu
bagaimana cara menghubungimu.
Namun aku berharap suatu hari kamu kembali ke desa ini, atau
berlibur beberapa hari. Tapi kamu nggak pernah muncul, kamu seperti lupa pada
guratan-guratan indah masa kecil.
Perasaanku makin kuat padamu,
kemudian papa pindah tugas, kami sekeluarga meninggalkan desa ini. Saat itu
persaanku sangat berat melangkah, aku ingat kamu, Lun, Kalau aku pergi dari sini, di mana lagi kita bisa bertemu?”
Sepi lagi. Aku tidak tahu
bagaimana menanggapi kejujuran Adam.
“Baiklah, Dam. Sekarang antarkan
aku dulu!
Malam sudah larut.”
“Luna
aku,,,,,,”
“Aku sudah
tahu baru saja kamu selesai ngomong kan? Besok
saja kita lanjutkan, kita pulang sekarang. Nanti nenek cemas menungguku.” Adam menjalankan mobil dengan pelan menembus pekat malam yang dingin.
*********
Kata-kata Adam kembali
terngiang-ngiang. Entahlah aku harus menjawab apa, aku tak tahu apakah aku
mencintainya juga atau tidak. Selama kami berpisah, aku memang sering merindukannya.
Tapi aku merindukan Adam yang dulu, Adam kecil yang selalu menemani Luna kecil.
Sekarang Adam kecil dan Luna kecil
tidak ada lagi, justru muncul sosok Adam yang sebenarnya Adam yang telah punya
perasaan, Adam yang telah berani menunjukkan perasaannya. Sedangkan aku? Luna kecilpun telah berubah, tapi mengapa aku tak merasakan perasaan yang
sama dengan Adam?
Seketika itu aku tersentak,sebuah
motor berhenti didepan rumah. Ali? ada apa yah?.
“Lun, kamu mau kerja apa?”
“Kayaknya
nggak ada, masuk dulu, Li..
“
Ali duduk di teras.
“Aku
Cuma mau jemput kamu. Hari ini ayah
memanen padi kami. Kita turun ke sawah
juga yuk ! Banyak makanan, kamu masih ingatkan dangau kecil itu, yah selalu
penuh makanan. Sekarang dangaunya sudah diperbesar, makanannya juga tambah
banyak..”
“Yang lain?”.
“Aku sudah
hubungi sama mereka, terakhir aku
kesini sekalian jemput kamu”.
“Aku pamit sama nenek dulu!”
Ali memarkir motornya di tempat
yang teduh di bawah pohon asam. Tanpa
menunggunya aku meniti pematang menuju ke dangau. Tapi kok sepi? Sesaat aku
berhenti dan memandang sekeliling, mana orang-orang yang akan membantu memanen
padi itu?
Biasanya kalau ada penduduk yang
hendak panen maka penduduk yng lainnya turun tangan membantu.
“ Li,, kok sepi ?”.
“Ada kok
orang di dangau. Ayo jalan, panas disini!”
“Hmm
jangan-jangan kamu ngerjain aku.”
Ali berlalu
acuh, mendahului aku yang masih berdiri di pematang.
“Oeee, Luna!” Panggilan itu terdengar dari arah dangau, beberapa tangan melambai. Benar saja, ada
Iwan, Anton dan Reni di sana. Aku segera mendekat.
“Kalian
disini rupanya, kupikit tadi Ali mengerjaiku.”
Reni dengan cekatan menyiapkan makanan kami. Rupanya mereka
membawa bekal dari rumah. Tapi orang-orang yang akan memanen padi itu sama
sekali tidak kelihatan.
Setelah kami makan, Reni pergi, katanya dia mau menyusul
suaminya yang lagi memancing di kali. Aku bersandar di tiang penyangga atap sambil menikmati tiupan suling
Ali.
Di sudut
Iwan dan Adam bercanda, belum menegur aku.
“Aduh, aku lupa sesuatu, “ tiba-tiba Ali beranjank
.
“Aku pulang
sebentar yahh?”
Saat yang sama Iwan juga beranjak
pergi.
“ Wan, kamu
mau kemana sihh?”.
“ Temani
Ali, kamu disini saja dulu sama Adam.’’
“
Tapi.....” suaraku berlalu di bawah
angin. Keduanya telah jauh berlari di antara padi-padi yang menguning.
“Sempurna , Kamu telah
mengaturnya, Dam?”
“Nggak Lun,
semua ini ide mereka. Mereka juga tahu kalau aku menyayangimu dari dulu. Jadi sekarang bagaimana , Lun ...?
“ Apa yang
bagaimana ? “.
“Kita...”
Sesaat kutatap wajah itu, satu alisnya terangkat naik diikuti mata
elangya.
Aku tersenyum tipis. Diam-diam
aku merasa senang, bahagia. Inikah cinta? Tapi tiba-tiba teringat
seseorang di kampus yang selama ini selalu peduli padaku. Selalu siap setiap
kali aku butuh dan telah berkali-kali menyatakan perasaannya. Arga, haruskah
aku mematahkan harapannya?
Sumber Poto : https://steemit.com/esteem/@mint.steemit/padi-menguning-di-tepi-danau-laut-tawar-af66c2272d4f3
No comments:
Post a Comment