Aku baru saja keluar
dari kamar mandi ketika ponselku berdering berkali-kali. Sambil merapikan
rambut yang masih setengah basah, kutengok sekilas layar hp untuk melihat siapa
gerangan yang menelpon. Paling malas menjawab telepon ketika baru saja tiba di
rumah. Rasanya ketika tiba di rumah, aku hanya mau beristirahat. Kalaupun
menerima atau melakukan panggilan telepon, hanya untuk fun. Bukan untuk membahas
pekerjaan atau hal-hal yang berat.
Hmm sebuah nomor baru.
Jadi teleponnya tidak perlu dijawab. Kubiarkan ponsel itu bernyanyi sendiri.
Aku kemudian melangkah ke halaman belakang. Ada beberapa tanaman yang butuh
disiram setelah kuabaikan 2 hari. Hmm quality time. Badan segar sehabis mandi
lalu menikmati bunga-bunga di halaman belakang. Ini salah satu saat yang
menyenangkan ketika berada di rumah.
Setiap kali pulang
kerja, praktis aku di rumah saja. Tidak ada acara tambahan seperti dulu.
Nongkrong di kafe tidak lagi, nonton, apalagi. Ya karena tidak ada teman. Amel
yang dulu jadi partner di kantor maupun di luar sekarang ini dipindahtugaskan
di Palu pasca gempat dan tsunami disana. Dia mendapat tugas mulia untuk
membantu anak-anak menghapus trauma atas bencana tersebut.
Sore ini aku di temani
Ed Shareen, dia lagi di kamar.
Berkali-kali dia mengalunkan lagunya.
Loving can hurt,
Loving Can hurt sometime
But It’s the only thing that I know
When it gets hard, you know it can get hadr
sometimes
It is the only thing makes us fell alive
Aku bersenandung kecil
mengikutinya, sambil membenarkan dalam hati. Sekertika aku menggigit bibirku.
Memejamkan mata demi mengingat sebuah wajah yang mampu meruntuhkan tanggul
mataku. Tapi tidak kali ini. No. cause life must go on. Aku menepiskan
remah-remah kenangan dari pikiranku.
Aku meraih ponsel dari
atas meja. Mungkin ada hal menarik di status sosmed yang bisa bikin aku ketawa.
Biasanya status-status nyinyir bikin aku terbahak. Lucu aja rasanya melihat
masih ada orang yang nyinyir atas apa yang dilakukan orang lain. Hmm semoga apa
yang kulakukan tidak termasuk nyinyir yah. Aku cuma membaca status-status lalu
menanggapinya dengan senyum atau bahkan meringis.
Sebuah pesan WA
menarik perhatianku. Ternyata dari nomor yang berkali-kali memanggil tadi.
Sa, besok aku di
kotamu, lho. Aku ada jadwal TOT 2 hari di Hotel 888. Jadwalku jam 8 pagi sampai
jam 4 sore. Selebihnya free. Jam 5 kita ketemu di kafe, ya. Ok, aku tunggu
besok. Mas Pit.
Waow…Mas Pit mau
datang. Sip deh… aku punya teman nonkrong. Hahaha menyesal tidak mengangkat
telepon tadi. Salah Mas Pit juga, kenapa suka ganti-ganti nomor.
Pietra Hadijaya. Aku
lebih suka memanggilnya Mas Pit. Sementara teman-teman memanggilnya Pak Pit.
Dia adalah atasan kami. Tapi di luar jam kantor Mas Pit adalah teman ngobrol
yang sangat asyik. Kami bisa menghabiskan waktu berjam-jam di kafe, meminta
bergelas-gelas kopi sambil membahas banyak hal.
Selain itu Mas Pit
adalah teman jalan yang sangat menenangkan. Kamera tak pernah tertinggal dan
dia sangat gemar memotret. Rasanya kloplah dengaku yang sangat suka di poto.
Cocok.
*****
Aku bergegas
membereskan pekerjaan. Dari kantor langsung menuju Hotel Delapans. Waktu belum
menunjukkan pukul 5. Aku memilih duduk di resto sembari menunggu Mas Pit
selesai.
Tidak lama kemudian,
Mas Pit muncul. Dari jauh aku sudah melihat rambutnya yang dikuncir, tapi masih
juga awut-awutan. Kacamata tebalnya bertengger dihidung yang sama sekali tidak
mancung.
“Hai, Kak Risa!’
“Halo, Mas.” Kami
berjabat tangan erat. Lama sekali baru bisa bertemu. Beberapa mata mengawasi
kami. Ya mungkin agak aneh bagi mereka ketika ada gadis yang asyik ngobrol
dengan laki-laki beruban. Ya, rambut Mas Pit memang sebagian sudah ubanan.
Mungkin karena beban pikiran yah.
“Gimana kabarnya?” Tanya
Mas Pit sembari menarik kursi di depanku
“Well, seperti yang
Mas lihat, aku sehat dan baik-baik saja. Sangat baik.” Jawabku.
“Kerjaan gimana?”
“Aman, aku masih di
gaji tiap bulan. Tenang, Mas, perekonomianku masih stabil.”
Mas Pit terkekeh
mendengar jawabanku. Dia melambai ke seorang pramusaji, memesan minuman lalu
kami melanjutkan obrolan.
“Oh yah, kok Ka Risa
datang sendiri? Kenapa tidak mengajak teman?”
“Lho, kan Risa emang
sendiri, Mas. Amel pindah ke Palu.”
“Oh, yah? Terus, teman
yang tempo hari Risa ceritakan sama Mas, katanya mau dikenalkan kalo Mas main
ke sini. Mana dia?” Mas Pit mengaduk-aduk kopi di depanku. Suasana hening. Aku tidak
tahu harus mulai dari mana untuk bercerita.
“Mmm, Mas, sebelum
pulang, kita main ke warung mie ayam yang dulu yah. Mas Samin tempo hari
menanyakan kabar Mas.” Aku mencoba mengubah arah pembicaraan. Warung mie ayam
yang kumaksud adalah yang di tepi kali. Kami beberapa kali makan di sana dan
Mas Pit akrab dengan penjualnya. Mereka sering terlibat cerita yang menarik,
mungkin karena mereka berasal dari daerah yang sama, Bantul.
Kami mengobrol hingga
pukul 21 malam. Sampai akhirnya aku harus pamit pulang mengingat besok mesti
masuk kerja. Sedangkan Mas Pit, pun perlu beristirahat.
Tiba di rumah, aku
menemui Ed Shareen. Tiba-tiba aku ingin mendengar celotehnya lagi tentag cinta
yang kadang menyakitkan.
Aku bersandar di sofa.
Memeluk bantal yang empuk demi mencari suasana nyaman. Tapi malah dalam hatiku
terasa gundah. Pertanyaan Mas Pit tadi, tentang teman yang ingin kukenalkan
padanya mau tidak mau membuatku teringat Dafa.
Kukerjapkan mataku
yang menghangat. Terkadang saat mengingat Dafa, aku menjadi rapuh. Dan jika
berada di rumah, kubiarkan mataku berair. Menangis juga cukup baik untuk
melepaskan gundah. Aku sampai terisak-isak.
Dafa, dia tiba-tiba
menghilang begitu saja. Dan aku baru menyadarinya seminggu setelah dia tidak
berkabar padaku. Harusnya sore itu kami makan bersama sesuai janji kami minggu
lalu. Aku lalu mengingatkannya via WA
namun pesan itu tidak terkirim.
Ketika jam kantor
sudah usai, aku kembali mengecek WA dan masih saja pesan itu belum terkirim. Aku
coba menelpon, nomornya tidak aktif. Lalu aku memilih ke warung tempat kami
janjian. Pikirku mungkin Dafa sudah menungguku disana. Ternyata Dafa tidak ada.
Hingga pukul 20, ketika akhirnya aku menyerah, melangkah pulang ke rumah dengan
diliputi ribuan pertanyaan.
Seminggu, sebulan, dan
kini 8 bulan. Sama sekali tidak pernah ada kabar dari Dafa. Dia hilang begitu
saja. Sebulan awal aku depresi. Sedih yang mendalam namun tidak mampu
melampiaskannya. Saat itu hatiku menangis, tapi mataku tidak. Aku lalu mencari
jalan lain untuk menenangkan hatiku. Mempelajari doa-doa penenang hati. Beberapa
bulan kemudian aku baru dapat melihat hikmah dari perginya Dafa. Aku menghafal
beberapa doa dan rutin membacanya hingga hari ini. hingga aku menuliskan
kalimat-kalimat ini.
Dengan perginya Dafa,
aku tidak punya seseorang untuk kukenalkan pada Mas Pit.
No comments:
Post a Comment