Aku menulis kisah ini dengan tujuan
menjadi pengingat bagi diriku, ketika bermain ke hutan untuk lebih
berhati-hati dan tidak memisahkan diri dari orang banyak.
Minggu 8 September
Sore, lepas Ashar, waktu itu sekira pukul 16.00, aku bersama Andev menuju Lembah Cinta di Desa Mattabulu. Sebuah spot wisata di tengah hutan pinus itu selalu menggoda kami untuk berkunjung. Kami memang kerap menghabiskan waktu di sana, terlebih jika lagi waktu libur. Bahkan beberapa kali kami menginap di Mattabulu. Suasana sejuk dan tenang di sana mampu menahan kami, membuat kami enggan melangkah pulang.
Sore, lepas Ashar, waktu itu sekira pukul 16.00, aku bersama Andev menuju Lembah Cinta di Desa Mattabulu. Sebuah spot wisata di tengah hutan pinus itu selalu menggoda kami untuk berkunjung. Kami memang kerap menghabiskan waktu di sana, terlebih jika lagi waktu libur. Bahkan beberapa kali kami menginap di Mattabulu. Suasana sejuk dan tenang di sana mampu menahan kami, membuat kami enggan melangkah pulang.
Minggu sore kemarin, akhirnya kami memutuskan menempuh jalan kecil di
antara gunung dan jurang menuju Lembah Cinta. Kami tidak butuh waktu
yang lama. Jalanan tidak begitu ramai. Kami hanya berpapasan beberapa
pengendara yang sepertinya telah pulang dari Lembah Cinta Mattabulu.
Dalam perjalanan, kami mengobrol tentang cerita KKN di Desa Penari yang
lagi viral itu. Perjalanan untuk mencapai Lembah Cinta membuat kami
membayangkan bahwa kondisi jalanan tidak jauh beda seperti yang
digambarkan dalam cerita Desa Penari tersebut. Begitu juga letak Desa
Mattabulu mungkin kurang lebih sama dengan Desa Penari, sebuah desa di
hutan.
Pada sebuah belokan yang agak tajam, tiba-tiba bulu
kudukku meremang. Aku sedikit bergidik ketika mengingat omongan orang
bahwa saat bulu kuduk tiba-tiba meremang, maka berarti ada makhluk tak
kasat mata di sekitar kita. Aku berusaha mengatasi perasaan takut yang
mulai menjalar. Aku melanjutkan obrolan dengan tema yang lebih ringan.
Tapi lagi-lagi bulu kudukku meremang. Dua kali aku rasakan dengan jelas
tengkuk-ku menjadi lebih dingin dari sebelumnya.
Setelah
beberapa menit, akhirnya kami tiba di Lembah Cinta. Arhul, teman kami
tiba lebih dahulu. Kami mendapati Arhul sedang menikmati tuak manis.
Kami langsung bergabung, menikmati tuak manis di antara pohon pinus.
Cuaca yang dingin menambah suasana lebih nyaman.
Usai meminum
tuak, aku dan Andev lalu sepakat jalan-jalan untuk mengambil beberapa
gambar. Kami tidak masuk di kawasan wisata, yang saat itu masih
terbilang ramai. Masih ada pengunjung yang bermain flying fox, serta
melakukan kegiatan wisata lainnya.
Kami memilih menyusuri jalan
selasar yang arahnya menjauh dari lokasi wisata. Aku lalu mengatakan
perihal tengkuk-ku yang tiba-tiba terasa dingin diperjalan tadi. Saat
yang sama aku kembali merasakan tengku-ku lebih dingin. Serasa ada yang
berdesir di belakan kami. Ternyata Andev merasakan hal yang sama. Tapi
kami berusaha mengatasi perasaan itu. Kami terus melangkah.
Akhirnya kami menemukan jalan beton diantara pohon pinus.Kami lalu
sepakat untuk mengambil gambar di tempat itu. Berhubung kami cuma berdua
dan awalnya tak ada yang mau menjadi potografer, akhirnya kami sepakat
menggunakan tripod. Kami mengambil beberapa gambar poto dan video untuk
keperluan medsos kami. Hanya untuk bersenang-senang. Kami lalu melupakan
perasaan aneh tadi. Kami benar-benar larut mengambil gambar.
Kami bergantian saling protes setiap kali melihat hasil gambar, apakah
itu video atau poto sehingga kami mengulang beberapa adegan dan pose
berkali-kali. Padahal adegan kami cuma berlari. Pose kami pun tidak
macam-macam. Kalau tidak duduk ya berdiri.
Selagi asyik
melakukan kegiatan kami, beberapa petani pekebun lewat disamping kami.
Mereka menggunakan motor sambil membawa hasil kebun. Mereka menatap kami
dengan heran tapi kemudian menyapa kami dengan ramah. Aku lalu
menyampaikan kepada mereka bahwa kami sedang mengambil beberapa gambar.
Tanpa kami sadari hari semakin sore. Memang kami tidak lagi pernah
melihat jam. Kami fokus untuk melihat setiap poto atau video yang kami
ambil. Lagipula matahari masih nampak terang, yang kami lihat di antara
pohon-pohon pinus.
Selagi kami asyik, ternyata disaat yang sama,
teman kami telah kebingungan mencari kami. Pengunjung di lokasi wisata
semakin kurang. Satu persatu mereka mulai pulang. Kami belum kelihatan
di antara pengunjung. Arhul dan Endri akhirnya berkeliling mencari kami.
Tapi nihil, mereka tidak menemukan kami.
Sementara hari semakin
sore. Jarum jam hampir menunjuk angka 18 (delapan belas). Teman-teman
semakin gelisah. Mereka telah mengelilingi lokasi wisata, menanyai
pengunjung apakah ada yang melihat kami. Tapi tidak seorang pun yang
melihat kami. Ya kami memang tidak masuk di lokasi wisata tadi.
Mereka lalu menyusun rencana, akan menunggu kami sampai pukul 18.00.
Jika sampai waktu itu kami tidak ditemukan mereka sepakat meminta
bantuan di desa bahkan berniat menghubungi BPBD.
Ohhh begitu resahnya mereka, mencari kami disaat kami lagi asyik dan tidak merasa cemas sama sekali. Kami tidak sadar bahwa waktu telah sore. Kami tidak tahu bahwa teman-teman kami gelisah mencari sejak tadi.
Ohhh begitu resahnya mereka, mencari kami disaat kami lagi asyik dan tidak merasa cemas sama sekali. Kami tidak sadar bahwa waktu telah sore. Kami tidak tahu bahwa teman-teman kami gelisah mencari sejak tadi.
Perasaan
Arhul semakin tidak enak. Dia hampir putus asa ketika kemudian dia
melihat jalan selasar. Dia lalu mengajak Endri menyusuri jalan itu.
Akhirnya mereka menemukan kami. Waktu itupun kami masih mengambil
gambar.
Kami lalu diajak pulang. Diingatkan bahwa tidak baik
berada di hutan saat menjelang malam. Kami seperti baru sadar dan segera
menyudahi aktifitas kami. Tanpa rasa bersalah sedikit pun kami
mengemasi peralatan lalu beranjak pulang. Bahkan masih sempat protes
kalau kegiatan kami belum selesai. Arhul dan Endri hanya tersenyum
kecut.
******
Selasa 10 September
Kami biasanya nongkrong di pelataran Galery UKM. Menikmati kopi dan roti bakar langganan kami. Lepas Isya aku menuju Galery UKM. Sebuah mesin ATM di tempat tersebut menjadi tujuan utamaku. Ternyata Arhul sudah duduk di meja (bookingan) kami. Teman-teman yang lain belum muncul. Dia lalu memesan milo panas dan roti. Sembari menikmati milo-nya dia lalu menceritakan upaya pencariannya pada Minggu sore kemarin. Aku menjadi terperangah, melongo dan sejenisnya. Sungguh aku tidak tahu bahwa mereka panik saat itu. Dan aku baru tahu malam ini. Dua hari setelah kejadian tersebut.
Aku berkali-kali meminta maaf. Aku bisa bayangkan betapa bingungnya dia saat itu.
“Kalau kalian tidak ditemukan, aku tidak pulang, aku minta tolong sama Mas Endri untuk mengabari orang di kampung untuk membantu kita mencari kalian. Aku juga meminta dia menghubungi BPBD atau apalah yang bisa mencari orang hilang di hutan.” Jelas Arul dengan mimik serius.
“Kalau kalian tidak ditemukan, aku tidak pulang, aku minta tolong sama Mas Endri untuk mengabari orang di kampung untuk membantu kita mencari kalian. Aku juga meminta dia menghubungi BPBD atau apalah yang bisa mencari orang hilang di hutan.” Jelas Arul dengan mimik serius.
Aku geleng-geleng kepala mendengarnya. Aku bebar-benar tidak sadar bahwa kemarin itu telah membuat teman-teman kami resah.
“Maaf, aku dan Andev tidak tahu jika kalian mencari kami. Kami malah
asyik ketawa-ketawa. Tidak menyadari jika hari semakin sore,” jelasku.
“Iya, yang kami takutkan, kalian hilang. Cuaca gelap bisa saja membuat
kalian lupa kalian berada di mana. Tidak melihat jalan pulang, sementara
waktu itu gelap mulai turun.” Lanjut Arhul.
Kami memang beberapa
kali bermalam di hutan maupun di gunung. Tapi kami selalu bersama-sama,
rombongan. Baru kali ini aku dan Andev pergi berdua, agak menjauh dari
kerumunan.
Arhul lalu mengingatkan bahwa tidak aman menjauh dari
kerumunan saat berada di hutan. Apalagi ketika menjelang malam. Bisa
terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Mendengar itu aku bergidik ngeri.
Demi mengingat betapa tengkuk-ku terasa dingin saat aku mulai menyusuri
jalan selasar, sore itu.
“Kami kan tidak jauh dari lokasi
wisata. Apakah suara kami tidak kedengaran? Padahal aku dan Andev
ngobrol, cukup keras suara kami.”
“Tidak sama sekali,” jawab Arhul.
“Yang membuat aku makin resah, aku naik ke baruga, mencari kalian dari ketinggian, tapi aku tidak melihat sama sekali.” Lanjut Arhul.
Padahal aku dan Andev berada tidak jauh dari Baruga.
“Yang membuat aku makin resah, aku naik ke baruga, mencari kalian dari ketinggian, tapi aku tidak melihat sama sekali.” Lanjut Arhul.
Padahal aku dan Andev berada tidak jauh dari Baruga.
*****
Buat teman-teman, terima kasih dan maaf. Terima kasih atas keresahan kalian saat kami tidak kelihatan. Ternyata masih ada yang peduli, dan maafkan telah membuat kalian capek mengelilingi tempat wisata dan sekitarnya demi menemukan kami.
Kalian bukan sekedar teman. Kalian adalah sahabat, dan bukan sahabat palsu
No comments:
Post a Comment