Biaya les memang di atas rata-rata kala itu, tapi hasilnya pun luar biasa.
Pagi 26 Juni 2014
Blok M Square masih sepi. Hanya ada beberapa petugas keamanan dan petugas kebersihan di mall itu. Aku tergesa turun dari mobil yang mengantarku dari bandara. Perjalanan pagi buta dari Makassar membuat aku dan Dhyba bisa menjejaki Jakarta pagi-pagi sekali.
Kami belum mandi. Sarapan pun hanya dengan sepotong roti dan air mineral. Aku menyusuri mall yang sangat asing bagiku. Aku lalu bertanya pada petugas keamanan tentang tempat les privat. Kalau tidak salah ingat adanya di Lantai L.
Petugas keamanan tersebut lalu mengarahkanku naik eskalator. Dan ketika aku kembali bingung seorang petugas kebersihan mengantarku hingga di depan ruangan les.
Kami bergegas. Karena sejatinya kami telah terlambat 30 menit. Namun mereka berbaik hati menunggu Dhyba setelah aku mengabari bahwa kami baru saja mendarat di Cengkareng.
Singkat cerita Dhyba masuk dalam ruangan sedangkan aku menyelesaikan urusan administrasi. Sembari menunggu bukti pembayaran, aku tertunduk mengamati sepatuku yang rusak. Bagian depannya lepas dari sol hingga menyerupai mulut yang terbuka.
Perlahan aku menekan bagian depan sepatuku dengan jari kaki. Pantas tadi Dhyba berbisik menyuruh aku membeli sepatu. Tapi aku tolak dengan pertimbangan kami sedang dalam perjalanan dan butuh banyak uang. Jadi aku berencana membeli lem saja.
Saat yang sama aku menghubungi Andev untuk mencarikanku hotel murah di sekitar mall. Ya, aku dan Dhyba bakal menginap 2 atau 3 malam. Namun siapa sangka, seorang Bapak mengajak aku ke rumahnya. Bukan sekedar mengajak, tapi lebih terkesan sebuah perintah agar aku nginap ditempatnya. Beliau adalah pengusaha sukses asal Lampung yang kebetulan anaknya ada juga di dalam ruangan les. Singkat cerita aku ikut sama Bapak tersebut dan menginap di rumahnya selama 3 hari.
Ternyata aku berada di rumah seorang keturunan Raja Lampung. Disebuah kompleks perumahan elit di daerah Bekasi. Aku dijamu dengan baik di meja makan yang sangat panjang. Ada sekitar 30 kursi mengelilingi meja tersebut. Rasanya risih dan sungkan makan bersama di meja besar dan panjang itu. Namun tentunya aku harus tetap makan. Selain itu aku diberi kamar yang sangat nyaman. Kasur empuk dan full AC. Sunggu luar biasa pertolongan Allah. Di saat jauh dan butuh banyak uang, ada yang memberikan penginapan gratis dengan makanan enak.
Setelah selesai les, Dhyba menghubungi aku. Dia menunggu dijemput di Mall. Lalu aku sampaikan bahwa ada seorang sopir yang bakal menjemputnya lalu mengantarnya untuk bergabung denganku. Awalnya dia protes. Dia tidak ingin menumpang di tempat orang dengan alasan ingin istirahat full. Perjalanan dari Makassar dilanjutkan les tanpa istirahat tentunya membuatnya cukup lelah. Namun aku memastikan bahwa suasana di rumah tersebut sangat nyaman.Singkat cerita Dhyba tiba dan langsung menempati sebuah kamar di lantai dua. Setelah mandi dan makan dia istirahat.
Kembali ke sepatuku, aku sempatkan membeli lem sebelum meninggalkan mall, tadi pagi. Setelah membersihkannya, aku mulai membubuhkan lem disekitar tempat yang menganga, lalu menekannya kuat-kuat agar dapat merekat dengan baik. Akhirnya sepatu itu dapat dipakai lagi. Fix, aku tidak perlu membeli sepatu. Aku memilih berhemat. Tiga hari di Jakarta aku tetap mengenakan sepatu tersebut dengan sangat hati-hati dan tetap mengantongi lem kemana pun aku pergi. Hingga kami pulang ke Makassar, sepatuku aman-aman saja. Dan hingga hari ini, saat aku menulis kenangan ini, sepatu itu masih ada. Aku simpan dengan baik di rak sepatu. Agar kenangan Blok M, perjuangan Dhyba dan kami sekeluarga tetap dapat hidup dengan baik.
No comments:
Post a Comment